Ilustrasi/net
RIAU1.COM - Pelecehan seksual diduga dialami seorang sales promotion girl (SPG) di SJS Plaza Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Korban diduga dilecehkan seorang karyawan.
Pelecehan seksual ini muncul ke publik setelah kuasa hukum korban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melakukan aksi demo di SJS Plaza Padang, Jumat (20/1) seperti dimuat Langgam.id.
Disebutkan, sebelumnya, kasus ini juga telah dilaporkan korban ke pihak kepolisian. Namun kuasa hukum korban menuding manajemen SJS Plaza Padang tidak kooperatif untuk membantu proses penegakan hukum.
Salah seorang kuasa hukum korban, Dechtree Ranti Putri mengatakan, sejak awal kasus kekerasan seksual ini terjadi, korban telah mengadukan ke atasan serta teman-teman di lingkungan kerja. Korban mengalami kekerasan seksual sebanyak dua kali.
"Tapi malah tidak mendapatkan respon yang baik. Malah korban disudutkan sehingga korban merasa bersalah, tidak nyaman di lingkungan kerja," kata Ranti, Jumat (20/1).
"Korban akhirnya memutuskan mengundurkan diri. Kemudian setelah itu korban melaporkan ke pihak kepolisian," tambah dia.
Kemudian Ranti menyebutkan peristiwa pelecehan seksual ini terjadi pada Agustus 2022 di lantai 3 SJS Plaza Padang dan di bulan yang sama dilaporkan ke pihak kepolisian. Selanjutnya pada Desember 2022 korban mengadu ke LBH Padang meminta pendampingan.
"Yang paling menjadi kekecewaan kami adalah, ketika korban melaporkan ke pihak kepolisian, ada upaya komunikasi pihak kepolisian dengan SJS Plaza. Tapi pihak SJS Plaza mengatakan rekaman CCTV hanya berumur tujuh hari," papar dia.
"Entah dihapus atau bagaimana, memang tidak ada lagi backup datanya (rekaman CCTV)," sambung dia.
Dalam aksi demo yang dilakukan kuasa hukum korban, sempat terjadi perdebatan dengan kuasa hukum SJS Plaza Padang. Adu argumentasi terjadi saat berlangsungnya aksi.
Menurut Ranti manajemen SJS Plaza Padang tidak melakukan proses penegakan hukum secara internal. Mereka mengatakan hanya menunggu proses hukum pidana sehingga menyerahkan kasus ke pihak kepolisian.
"Kami tidak seperti itu, dalam undang-undang TPKS ada dua mekanisme penegakan hukum. Satu secara internal, dua secara kepolisian. Yang kami sayangkan secara internal tidak ada mekanisme jelas melindungi korban kekerasan seksual ini," ujar dia.
Lalu Ia mengungkapkan tidak ada ruang yang aman bagi korban setelah terjadinya kekerasan seksual. Karena korban malah dikucilkan dan dianggap berlebihan sehingga depresi.
"Korban sempat membentur kepala beberapa kali dan membuat korban tidak nyaman, sehingga korban memilih mengundurkan diri,"sebut dia lagi. *