Mantan Kepala Kanwil BPN Sumbar Ditahan Kejati

23 Oktober 2024
Ilustrasi/net

Ilustrasi/net

RIAU1.COM - Terkait kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar) menahan 11 orang tersangka 

Di antaranya adalah mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbar, SF, yang juga menjabat Ketua Panitia Pengadaan Tanah (P2T) tol tersebut. Kemudian juga ada Kepala Kantah BPN Dharmasraya, YH.

Diketahui, kasus ini melibatkan lahan Taman Keanekaragaman Hayati milik Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional pada tahun 2020-2021.

Menurut keterangan Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Sumbar, Efendri Eka, tim penyidik dari bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sumbar memanggil 12 orang tersangka untuk diperiksa. Namun, satu tersangka, BOG, telah meninggal dunia, sehingga hanya 11 orang yang hadir.

Setelah melalui proses pemeriksaan, penyidik menilai bahwa telah ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menahan para tersangka. Sebanyak dua orang tersangka, SF, yang menjabat sebagai Ketua Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sekaligus mantan Kanwil BPN Sumbar, dan YH, anggota P2T, ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Padang selama 20 hari guna mempermudah proses penyidikan.

“Keduanya ditahan di rutan untuk memperlancar penyidikan karena ada kekhawatiran mereka dapat melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana yang sama,” kata Efendri, Rabu (13/10/2024) yang dimuat Langgam.id.

Sementara itu, sembilan tersangka lainnya, yaitu MR, BR, ZD, AM, MN, AR, SH, SY, dan ZN, dikenakan penahanan kota. Mereka dianggap kooperatif selama pemeriksaan dan telah menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan kerugian negara.

Kerugian keuangan negara diperkirakan mencapai Rp27 miliar, sesuai dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumbar.

Kasus ini berawal dari kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Ruas Padang-Pekanbaru, khususnya pada segmen Hilalang-Sicincin-Lubuk Alung-Padang di Kabupaten Padang Pariaman. Proyek yang berlangsung pada 2020 ini melibatkan SF sebagai Ketua P2T dan YH sebagai anggota.

Pada tahap inventarisasi dan identifikasi lahan, SF dan YH diketahui tetap memproses pengadaan lahan meskipun telah mendapat pemberitahuan dari Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman bahwa lahan tersebut merupakan aset daerah, khususnya Taman Keanekaragaman Hayati.

Meskipun demikian, mereka melanjutkan proses pengadaan, termasuk melakukan pembayaran ganti rugi kepada sejumlah pihak.Dalam prosesnya, 10 orang penerima ganti rugi diduga mendapat keuntungan sebesar Rp9 miliar.

Penahanan terhadap SF dan YH didasarkan pada alasan subjektif dan objektif yang diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Alasannya meliputi kekhawatiran bahwa para tersangka dapat melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya.

Sementara itu, sembilan tersangka lainnya ditahan di kota karena dinilai kooperatif dan diharapkan dapat membantu upaya pengembalian kerugian negara.

Para tersangka yang dikenakan penahanan kota adalah MR, BR, ZD, AM, MN, AR, SH, SY, dan ZN, yang seluruhnya terlibat dalam penerimaan ganti rugi atas lahan yang merupakan aset Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsider, mereka juga didakwa dengan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus dugaan korupsi dalam proyek jalan tol Padang-Pekanbaru ini telah menyita perhatian publik sejak pertama kali mencuat. Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan perkara terkait yang melibatkan 13 orang terdakwa lainnya.

Pada Desember 2023, MA menganulir vonis bebas terhadap para terdakwa yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Padang dan menggantinya dengan hukuman penjara bervariasi sesuai dengan peran masing-masing terdakwa.

Beberapa di antaranya, seperti JMD dan RN, yang merupakan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN), dijatuhi hukuman lima tahun penjara dengan denda Rp200 juta. Terdakwa lainnya, seperti SA dan KA, dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda dengan nilai yang sama, serta diwajibkan mengembalikan uang pengganti kerugian negara yang mereka terima secara tidak sah.

Kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan dalam proses ganti rugi lahan Taman Keanekaragaman Hayati di Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, yang menjadi lokasi pembangunan jalan tol.

Uang ganti rugi yang seharusnya diterima oleh pemerintah daerah diduga dialihkan kepada pihak-pihak tertentu secara tidak sah, sehingga menimbulkan kerugian negara.*