Meski Usia Sudah 77 Tahun, Hari Jadi Sumbar Baru Diperingati 4 Kali, Ini Penjelasannya

Meski Usia Sudah 77 Tahun, Hari Jadi Sumbar Baru Diperingati 4 Kali, Ini Penjelasannya

1 Oktober 2022
Rumah Gadang/Net

Rumah Gadang/Net

RIAU1.COM -Usia Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) kini sudah tercatat 77 tahun. Namun, untuk peringatan hari jadinya, baru digelar empat kali.

Hari Jadi Sumbar baru empat kali diperingati, karena memang hari jadi Sumbar pada 1 Oktober itu baru ditetapkan tahun 2019 melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor: 4 tahun 2019.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbar, Supardi mengatakan, Hari Jadi Sumbar ditetapkan dari titik tolak rapat KNID-SB yang memutuskan membentuk kembali Keresidenan Sumatra Barat.

“Sekaligus pengambilan kekuasaan keresidenan dari tentara penduduk Jepang oleh pemuda-pemudi yang dimotori M Syafei, Dr M Djamil dan Rasuna Said,” ujar Supardi, Jumat (30/9/2022) seperti dimuat Langgam.id

Sebelumnya, Supardi juga menyebutkan, bahwa Sumbar merupakan provinsi terakhir di Indonesia yang menetapkan hari jadi di Indonesia.

“Penetapan itu dilakukan karena banyaknya masukan dan aspirasi kepada DPRD Sumbar. Proses dilakukan dengan melihat sejarah perjalanan Provinsi Sumbar baik kedudukan sebagai administratif maupun sebagai masyarakat yang identik dengan Minangkabau,” ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Ranperda Hari Jadi Provinsi Sumatera Barat, Syukriadi Syukur menyebutkan, kajian para pakar yang hadir untuk memberikan materi diharapkan dapat mengerucutkan opsi dari beberapa momentum sejarah yang akan dijadikan sebagai hari jadi provinsi.

“Para pakar akan memberikan masukan dan pertimbangan tentang momentum sejarah yang paling tepat untuk dijadikan sebagai hari jadi provinsi,” katanya, sebagaimana dirilis situs resmi DPRD sumbar.

Naskah Akademik Ranperda tersebut menyebutkan lima momen penting yang dapat dijadikan alternatif untuk menetapkan hari jadi Provinsi Sumbar.

Pertama, pada 1609. Tahun saat VOC membentuk unit pemerintahan di kawasan pesisir pantai barat Sumatra dengan nama, ‘Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust’.

Kedua, pada 29 November 1837. Di tanggal ini, ‘Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust’ berubah menjadi ‘Gouvernement van Sumatra’s Westkust’.

Ketiga, tahun 1942. Saat ini, Tentara Pendudukan Jepang membentuk Keresidenan Sumatra Barat dengan nama ‘Sumatora Nishi Kaigun Shu’.

Keempat, tanggal 8 Oktober 1945. Pada momen ini, Kepala Pemerintahan RI daerah Sumatra membentuk Keresidenan Sumbar sebagian bagian dari Provinsi Sumatra.

Dan kelima, pada 9 Agustus 1957 bertepatan dengan ditetapkannya UU Darurat No. 19 tahun 1957 yang membentuk Provinsi Sumatra Barat.

Semua momentum tersebut, sesuai naskah akademik, punya kelebihan dan kelemahan masing-masing untuk dijadikan sebagai hari jadi Provinsi Sumbar. Naskah tersebut kemudian memberi kriteria, yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan hari jadi itu.

Kriterianya yakni, nilai-nilai kepribadian yang selaras dengan kepribadian masyarakat Sumbar. Kemudian, nilai-nilai kerakyatan dan patriotisme yang dapat memberikan rasa bangga dan menumbuhkan motivasi dan kecintaan masyarakat pada Sumbar.

Kriteria berikutnya yakni, dapat memberikan pengaruh terhadap persatuan dan kesatuan. Lalu, ada nilai-nilai keteladanan. Selanjutnya, punya nilai-nilai yang mempengaruhi perkembangan pembangunan bangsa dan daerah. Dan terakhir, merupakan salah satu puncak sejarah.

Lalu, Sejarawan Universitas Negeri Padang, Almarhum Mestika Zed yang jadi narasumber saat itu mengungkapkan, data momen sejarah untuk Sumbar. Setidak nya 12 data sejarah yang berhubungan dengan Sumbar sebagai provinsi.

Sebagian dari momen tersebut, terjadi pada Zaman VOC dan Hindia Belanda. Untuk kategori ini, menurut Mestika tidak layak dijadikan sebagai tonggak sejarah kelahiran Provinsi Sumbar.

“Memilih hari lahir provinsi dengan merujuk kepada unit administratif ciptaan Belanda adalah naif. Karena, ia hadir bukan untuk kita, tetapi untuk kepentingan penjajahan,” katanya.

Mestika merekomendasikan dua tanggal yang tak ada dalam draf naskah akademik Ranperda. “Semua pilihan tentu terkait dengan konteks historisnya. Atas dasar pertimbangan itu agaknya bijaksana jika pilihan kita jatuh pada dua alternatif berikut: 19 Agustus 1945 atau 1 Oktober 1945,” katanya.*