Gubernur Riau, Syamsuar
RIAU1.COM - Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar, meminta kepada pemerintah pusat untuk mempercepat validasi kebun sawit ilegal. Diharapkan pada bulan Agustus mendatang masalah ini sudah selesai. Terkait hal itu semua pihak diajak berkerja sama.
"Kami siap dan sangat mendukung validasi kabun sawit ilegal, karena ini menyangkut daerah kami. Kalau nanti kita bersama-sama untuk turun menyelesaikan validasi kebun sawit ilegal ini tentunya permasalahan sawit akan cepat tuntas," ungkap Syamsuar.
Syamsuar menyampaikan, permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau salah satu penyebabnya karena banyaknya kebun sawit ilegal.
"Konsekuensi menjadi pemimpin saat ini ialah menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi sebelumnya, karena itu merupakan tanggung jawab kita sebagai pemimpin dan untungnya ada UU Cipta Kerja sebagai solusi permasalahan kebakaran hutan," ujarnya.
Selain itu, Syamsuar juga ingin agar Pemerintah Pusat melibatkan pemerintah daerah dalam melakukan validasi dan verifikasi lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan atau kebun sawit ilegal yang ada di daerah.
"Kami sangat senang jika Pemda di ikutsertakan dalam validasi dan verifikasi lahan perkebunan sawit ilegal ini, khususnya yang berkaitan dengan kebun sawit rakyat," imbuhnya.
Pada kesempatan itu, Syamsuar juga meminta dukungan anggaran agar proses verifikasi keabsahan dan kejelasan pemilik lahan, khususnya petani rakyat yang punya srtifikat tapi lahan kebunnya di kawasan hutan, tuntas sesuai target.
"Kami sendiri tidak punya biaya untuk itu, sedangkan kami sudah mengesahkan APBD 2022, karena itu kami minta dana dari pusat seperti menjalankan program TORA yang dananya dari pusat," ucapnya.
Berdasarkan data dari Komisi IV DPR RI, diketahui luas perkebunan sawit ilegal di Indonesia mencapai 3,2 juta hektar dan 1,8 juta hektar di antaranya berada Riau. Namun dari versi lain, luas perkebunan sawit ilegal di Riau sekitar 1,4 juta hektar.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi, mengatakan validasi data bagian terpenting untuk menyelesaikan masalah perkebunan ilegal, dan ini harus dilakukan secara komperensif melibatkan tenaga kerja di tingkat RT dan RW di daerah.
"Konsekuensi yang ditimbulkan karena diperlukan biaya operasional bagi para petugas desa di lapangan kita berharap dirjen pranologi mengeluarkan rancangan, mudah-mudahan di perubahan kita bisa masukkan anggaran itu," kata Dedi.
Dedi juga menyebutkan, pihaknya mendorong PNBP untuk bisa bersifat berkeadilan, yaitu dengan memberikan ruang bagi insentif provinsi dan kabupaten/kota sebagai omset dari pengelolaan area perkebunannya.
"Kami juga berkomitmen untuk menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai mekanisme tata kelola pengelolaan area sawit ini kepada struktur pemerintahan terbawah," tukasnya.*