Ilustrasi
RIAU1.COM - Kami berkomitmen tentunya untuk mendukung Inpres tersebut dengan tidak memberikan rekomendasi maupun izin usaha perkebunan dan penyiapan lahan.
Seperti itu dikatakan Wakil Gubernur Riau, Edy Natar saat rapat koordinasi (Rakor) evaluasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas kelapa sawit bersama beberapa Kementerian dan pemerintah provinsi, Kamis 15 Juli 2021.
Pada kesempatan tersebut, dia menyebutkan, dengan terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, dia berharap ke depannya dapat memberikan arah yang lebih jelas terhadap kasus hutan dan lahan.
"Kita tentu memiliki harapan besar bahwa ke depannya akan memberikan arah yang lebih jelas dan koridor hukum yang tegas dalam hal penanganan kasus-kasus terutama terkait penyelesaian kasus hutan dan lahan," kata Edy Natar.
Dia juga menyampaikan beberapa saran mengenai kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan, serta peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit ke depannya.
"Penundaan izin usaha perkebunan sedianya hanya diberlakukan terhadap perizinan yang benar-benar merupakan izin baru," ujarnya.
Sementara, sambung dia, terhadap usaha perkebunan kelapa sawit yang dalam kategori pasal 110 A Undang-Undang Cipta Kerja, yang mana telah memiliki perizinan usaha berupa izin lokasi, begitu juga sebagaimana yang tercantum pada pasal 110 B yaitu belum memiliki perizinan usaha, Edy Natar berharap untuk tetap bisa diproses perizinan induknya, sampai batas waktu 3 tahun sejak undang-undang cipta kerja ini diberlakukan.
"Selain itu, dengan memperhatikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, khususnya pada pasal 13 dan 14, mengingat potensi dampak lingkungan yang terjadi di beberapa daerah maka diperlukan atur skema bagi hasil," tutur dia.
"Perlu kiranya diatur skema bagi hasil atas perolehan denda administratif terhadap pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten kota yang ada di wilayah provinsi," papar Edy Natar.