Edy Natar
RIAU1.COM - Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution menanggapi permasalahan konflik perkebunan yang ada di Provinsi Riau. Kata dia, bahwa sebagian besar konflik terjadi diawali dari adanya rasa ketidakadilan di tengah masyarakat yang berkonflik.
Yang mana sebut dia, sebagian dari masyarakat merasa tidak mendapatkan timbal balik yang cukup atas tanah mereka yang hilang.
"Rasa ketidakadilan inilah yang meyebabkan terjadinya konflik antara perusahanan perkebunan dengan masyarakat," kata Wagubri di Kediaman Wagubri, Selasa 1 Desember 2020.
Wagubri Edy Natar mengungkapkan, konflik tersebut diawali dengan cara perusahaan mendapatkan atau tidak mendapatkan persetujuan dari masyarakat di awal proses pembebasan lahan. Padahal sebut dia, pada saat pembebasan lahan pihak perusahaan wajib baik secara hukum maupun secara industri untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
"Namun tidak semua perusahaan yang ada ini telah melakukan upaya tersebut sehingga banyak sekali masyarakat yang merasa kecewa karena mereka merasa dicurangi," ujarnya.
Kemudian terkait ketidakpuasan masyarakat dalam permasalahan bagi hasil, yang mana permasalahan ini sering muncul dalam hal penerimaan bagi hasil dalam plasma yang oleh masyarakat dirasakan sangat tidak memadai.
Dimana paparnya, beberapa dari perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma sebagaimana yang telah dijanjikan di awal kesepakan dan ini merupakan temuan dari tim peneliti meskipun dalam beberapa kasus lahan plasma sudah sudah terealisasikan sebagaimana yang dijanjikan.
"Namun keuntungan yang diberikan kepada masyarakat dirasa sangat terlalu kecil," lanjutnya.
Ia juga menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena koperasi yang dibentuk untuk mengelola plasma tersebut tidak sepenuhnya berfungsi dengan baik dan tidak transparan dalam hal membagikan keuntungan yang didapat.
"Ini adalah masalah intern masyarakat itu sendiri tetapi imbasnya juga akan sampai kepada perusahaan bahkan sering juga berujung pada aksi demonstrasi yang dilakukan kepada pemerintah daerah baik kabupaten kota maupun provinsi," ujarnya.
Ia menerangkan, sebetulnya hal tersebut tidak akan terjadi kalau saja pihak perusahaan bisa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat lokal dimana perusahaan tersebut beroperasi. Bahkan pihaknya selalu akomodatif dalam menanggapi aksi demo masyarakat sepanjang disampaikan dengan tertib dan tidak membuat kegaduhan.
Hanya saja dalam banyak kasus pihak pemerintah sebatas berupaya untuk memfasilitasi pertemuan antara masyarakat yang berkonflik dengan pihak perusahaan yang harapannya konflik tersebut dapat diselesaikan dengan menguntungkan semua pihak.
"Tetapi manakala konflik tersebut tidak ditemukan jalan keluarnya tentu payung hukumlah yang terbaik untuk jalan keluarnya," pungkasnya.