Memaknai Merdeka Belajar Dan Merdeka Mengajar Filosofi Ki Hadjar Dewantara Dalam Persfektif Calon Guru Penggerak

23 Mei 2022
Alexssander, S. Pd, Gr

Alexssander, S. Pd, Gr

RIAU1.COM - Apa itu Pendidikan yang berpihak pada siswa?

Zaman terus berubah, begitu juga dengan generasi penerus kehidupan bangsa. Lebih kurang satu abad yang lalu Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara (KHD) mengemukakan hasil buah fikirnya berupa filosofi pendidikan bangsa dengan beberapa poin penting yang salah satu diantaranya adalah bahwa pendidikan itu semestinya tanpa paksaan dan sesuai dengan kodrat keadaan siswa. Pendidikan tidak memaksa murid untuk menjadi seperti apa yang diinginkan oleh pendidiknya, selain itu pendidikan mesti mempertimbangkan keadaan dimana dan pada zaman apa sang murid itu hidup yang disebut dengan kodrat keadaan.

Visi pendidikan KHD saat itu tidak serta merta timbul begitu saya. KHD merupakan seorang pahlawan pendidikan Bangsa Indonesia yang justru mengenyam pendidikan ala kolonial Belanda. Beliau sangat prihatin dengan nasib pendidikan bangsa saat itu yang hanya bertujuan untuk segala kepentingan penjajah semata. Kaum pribumi yang mendapatkan kesempatan hanya dari kalangan tertentu saja (para pembantu kolonial dalam urusan pemerintahan di tanah jajahan). Kaum pribumi hanya mendapatkan pelajaran yang sangat terbatas seperti Bahasa Belanda serta Baca, Tulis dan Hitung (Calitung).

Pendidikan saat itu sangat rasisme bagi kaum pribumi yang menjadi anak bangsa kelas dua di negerinya sendiri. Sistem hukuman fisik maupun psikis menjadi hal yang lumrah diterima oleh para pembelajar pribumi pada saat itu. Tidak itu saja tujuan pendidikan ala kolonial ini lebih menyedihkan lagi, yaitu pendidikan dan pengajaran bagi pribumi hanya bertujuan untuk menyiapkan pegawai-pegawai dari kalangan pribumi untuk menjadi pembantu kolonial di bidang perkebunan dan pemerintahan penjajahan belanda. Jika beruntung dapat menyelesaikan pendidikan maka para pribumi terrpelajar ini akan berkerja untuk segala kepentingan kolonial belanda dengan upah yang sangat rendah.

Melihat hal yang demikian, KHD mempelopori berdirinya sekolah-sekolah untuk pribumi yang diberi nama Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Taman  siswa membuka gerbang emas dunia pendidikan pada saat itu sehingga kemudian diikuti dengan berdirinya Taman Siswa di beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti di Sumatra dan Maluku. Visi pendidikan dan pengajaran Taman Siswa sangat sederhana dan penuh makna kearifan lokal. Tidak ada paksaan dalam proses pembelajaran, semua berdasarkan kesepakatan antara guru dan murid. 

Guru berperan sebagai penuntun (pamong) bagi para muridnya sehingga dikenal istilah Ing Ngaro Sung Tuladho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang bermakna Guru itu jika depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan kepada murid. Pendidikan dan pengajaran berorientasi dan berpihak pada murid. 
Mari kita korelasikan dengan masa sekarang! walaupun sudah satu abad  lamanya, namun pemikiran KHD ini terasa visioner jauh melampaui zamannya pada saat itu. Coba perhatikan apa yang bangsa kita alami dalam kehidupan sosial budayanya masa sekarang. Kita seakan kehilangan jati diri bangsa yang diwariskan oleh para pendahulu kita. 

Budaya bangsa Indonesia terus mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Banyak budaya asli bangsa Indonesia mulai tergerus akibat globalisasi dan akulturasi budaya baik secara langsung maupun tidak langsung, salah satu penyebabnya adalah derasnya perkembangan teknologi dan informasi, sebagai contoh perkembangan akses internet yang terus berkembang pesat membuat berbagai jenis konten dapat diakses dengan mudah oleh pengguna internet dari segala kalangan tanpa batas usia di seluruh dunia termasuk di negara kita Indonesia. 

Tidak ada batas ruang dan waktu dalam “dunia maya”, begitu juga jenis informasi dari konten yang tersedia di dalamnya. Internet tidak hanya sebagai tempat tersedianya konten-konten positif yang mengandung hal-hal yang baik-baik saja, namun di dalamnya terdapat banyak sekali konten negatif yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kerena bersifat merusak nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pornografi, penyebaran faham sekulerisme, informasi palsu (hoax) dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuh penyaring untuk memisahkan mana hal yang baik, dan mana hal yang buruk dari semua konten informasi yang akses di internet. Disinilah pendidikan bangsa yang memperhatikan kearifan lokal serta kodrat keadaan diperlukan.

Kodrat keadaan kita memang jauh berbeda dengan masa penjajahan kolonial belanda. Kita memang sudah merdeka 77 tahun lamanya, tetapi apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar kita rasakan terutama dalam bidang pendidikan? Benarkah kemerdekaan pendidikan sudah di dapatkan oleh para pembelajar yang kita sebut murid? Benarkah para pendidik sudah memperhatikan kebutuhan murid saat melakukan pendidikan dan pengajaran?. Untuk menjawab semua itu kita perlu bandingkan pendidikan di masa penjajahan kolonial dan masa sekarang.

Saat ini kita hidup di masa di mana kita dapat melihat anak-anak yang masih dalam masa pendidikan di Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP) lebih “fasih” menggunakan Perangkat laptop, tablet, PC maupun Android dari pada orang tuanya. Kita kadang heran melihat generasi muda datang ke payshop hanya untuk melakukan transaksi jual-beli barang yang wujudnya tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga bahkan tidak dapat diraba dan dirasa oleh panca indra apapun. Barang ini mereka sebut dengan istilah “Chip” yaitu semacam e-money yang dapat dipergunakan untuk kepentingan bermain game tertentu. 

Selain itu ada hal yang lebih memprihatinkan lagi bagi kita yaitu hilangnya budaya bangsa, hilangnya sikap suka bersilaturahmi saling mengunjungi antara sesama. Silaturahmi yang merupakan sikap budi luhur bangsa Indonesia, selain sikap gotong royong secara berangsur-angsur semakin ditinggalkan. Budaya bangsa saling mengunjungi datang ke rumah sanak-saudara, jiran tetangga maupun teman-kerabat dan kenalan walau hanya sekedar bercengkrama, mengobrol hal-hal biasa maupun hal serius ini mulai kita tinggalkan, padahal silaturahmi sudah menjadi budaya yang turun temurun yang sedari dahulu bangsa Indonesia sudah memilikinya kini harus terkikis zaman berganti dengan silaturahmi gaya baru yang “kekinian” sehingga menghilangkan nilai penting dari silahturahhmi itu sendiri, yaitu memupuk dan menguatkan rasa persaudaraan antar sesama. 

Dengan kemajuan teknologi silaturahmi zaman sekarang dilakukan di “Dunia Maya’ walaupun semestinya bisa bertemu langsung, namun kebiasaan baru ini lebih disukai oleh masyarakat kekinian dengan alasan kesibukan pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu luang untuk silaturahmi secara langsung ataupun dengan alasan-alasan lainnya. Berangsur-angsur kita menjadi individualis. Silaturahmi sekarang berganti wadah menjadi silaturahmi digital dilakukan tanpa bertatap dan berjumpa fisik secara langsung. Isi pembicaraannya tak kalah sepelenya lagi, kadang silaturahmi ini digital hanya untuk sekedar “say hello” saja melalui whatsapp atau media sosial Facebook, Twitter atau Instagram dan lain sebagainya. 

Tidak heran di zaman sekarang kita melihat orang lebih “intim” bercengkrama di atas kendaraan roda duanya saat melaju berjalan beriringan di jalan raya ketimbang di rumah yang terkadang mengabaikan keselamatan diri sendiri maupun orang lain, sebuah sikap yang jauh dari menghargai pengguna jalan lainnya. Bahkan pada saat bertemu langsung di rumah yang terjadi hanyalah komunikasi sekedarnya saja, cenderung kaku dan monoton. Kenapa? Apalagi penyebabnya kalau bukan masing-masing sibuk dengan perangkat elektroniknya yang bisa menghubungkannya dengan dunia luar yang jauh lebih luas. Masing-masing sibuk dengan alat yang lazim kita sebut “hape” itu sehingga rekan bicara yang ada di samping kita menjadi terabaikan. Inilah sedikit realita yang kita alami pada saat ini.

Pendidikan yang sesuai kodrat dan berpihak pada murid menjadi kunci utama.
Pendidikan membentuk karakter bangsa. Pendidikan dikatakan berhasil jika mampu merubah murid dari tidak tahu menjadi tau kebenaran serta mampu menerapkan nilai kebenaran itu dalam kehidupan sehari-harinya. Hampir setiap komponen masyarakat dalam tatanan sosial pernah bersekolah dan menjadi murid. Murid-murid inilah yang kelak berbaur menjadi bagian dari masyarakat yang majemuk berbekal ilmu yang didapatkan saat mengikuti pendidikan dan pengajaran di sekolah. Keberhasilan pendidikan yang diterimanya saat bersekolah akan menentukan caranya bersikap dan bertingkah laku sosial dalam masyarakat.

Pendidikan yang sesuai dengan kodrat keadaan adalah pendidikan yang memperhatikan di mana dan pada masa kapan murid itu hidup. Sebagai contoh, kebutuhan pendidikan di zaman kolonial mungkin hanya sebatas bisa membaca dan menulis saja, karena pada zaman penjajahan kolonial memang visi dan tujuan pendidikan kolonial hanya untuk mencetak generasi yang akan menjadi “pembantu” pemerintah atau perusahaan kolonial untuk dipekerjakan sebagai pegawai rendahan dengan upah yang kecil. Semata-mata hanya untuk keuntungan komersial kolonial semata. 

Sejak tahun 1945 kita sudah merdeka, sudah lebih kurang 77 tahun lamanya, semestinya sistem dan cara-cara pendidikan bangsa juga ikut merdeka. Pendidikan di masa lalu tidak akan sesuai jika diterapkan pada masa sekarang yang sudah penuh dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Selain itu pendidikan zaman kolonial tidak sesuai lagi diterapkan pada masa kemerdekaan karena tidak sesuai dengan kodrat keadaan. 
Bangsa Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan bangsa lainnya terutama Bangsa-bangsa dari Benua Eropa. Walaupun pendidikan barat belakangan banyak dijadikan arah kiblat pendidikan oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Semestinya kita harus menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki keberagaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa dan agama, selain itu letak geografis masing-masing daerah juga mempengaruhi kearifan lokal bangsa Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Papua.
Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di masing-masing wilayah yang berbeda secara kultur saja miliki tantangan dan cara yang tidak bisa seragamkan dan digeneralisasi, apalagi berbeda bangsa seperti negara  eropa nun jauh di sana. Sebagai contoh, cara pendidikan dan pengajaran di daerah Riau tidak bisa disamakan dengan cara mengajar di daerah kota metropolitan seperti Jakarta. 

Daerah Riau dengan kultur budaya suku Melayunya memiliki kearifan lokal yaitu menyukai kesenian yang kental dalam kehidupan keseharian baik itu Sastra, Kompang, Pantun, Puisi, Lagu dan Tarian berbeda jauh dengan Jakarta yang pada umumnya memiliki kultur budaya yang relatif sudah lebih heterogen dengan masyarakat yang majemuk. Walaupun masih mempertahankan budaya lokal Betawinya. Oleh karena itu tidak mungkin menyamakan cara-cara pendidikan dan pengajaran untuk kedua daerah ini, walaupun secara umum masih bisa diambil Kebijakan Sistem Pendidikan secara nasional. Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa perlu kebijakan dan inovasi dari para pendidik untuk menemukan cara dan strategi mengajar yang paling memperhatikan kodrat keadaan murid tentunya berdasarkan kearifan lokal masing-masing daerah supaya pembelajaran yang dilakukan lebih kontekstual tidak mengawang-awang.

“Apakah bisa mengadopsi cara-cara pendidikan dan pengajaran dari luar?” Pertanyaan ini mungkin terlalu retoris bagi kalangan pendidik, praktisi maupun akademisi pendidikan yang memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD). Dalam Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara. Dewan Senat Universitas Gadjah Mada, 7 November 1956, KHD berpesan kepada kita generasi bangsa “Jangan sampai kita hanya meniru sistem pendidikan dan pengajaran yang sepi pengaruh kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman Belanda”.

Dari pesan tersebut KHD seakan-akan ingin menyampaikan bahwa pendidikan bangsa harus memperhatikan kearifan lokal bangsa kita sendiri sebagai bangsa yang kaya akan keragaman dan kearifan lokal dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui wadah yang bernama Pendidikan itu sendiri. Cara-cara pendidikan semestinya memandang dan menjadikan kearifan lokal sebagai sebuah kekuatan guna mencapai tujuan pendidikan nasional. Selain itu, cara pendidikan dan pengajaran yang kontekstual sesuai dengan kodrat keadaan (tempat dan zaman) akan lebih dapat diterima oleh para murid. 

Pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal akan terasa lebih memiliki “rasa” dalam diri mereka karena sesuai dengan apa-apa yang mereka alami dalam kesehariannya. Sebaliknya, pendidikan dunia barat yang cenderung bergaya intelektualisme dan materialisme hanya akan terasa sebagai angan-angan saja bagi para pembelajar karena mereka sedikit sekali menemukannya dalam konteks kehidupan sehari-harinya. 

Memang pendidikan ala barat, tidak sepenuhnya boleh dianggap jelek, namun proporsional dalam meniru akan terasa lebih bijak bagi kita sebagai insan pendidik maupun masyarakat bangsa yang memiliki semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika” ini dalam upaya memajukan pendidikan bangsa. Bijaklah dalam meniru barang dari luar, sesuaikan dengan kebutuhan, jika diperlukan lakukan beberapa modifikasi dan inovasi dalam cara kita mendidik dan mengajar. Semoga pendidikan Indonesia semakin maju. Guru bergerak Indonesia maju. Salam merdeka mengajar, salam merdeka belajar.**


Oleh : Alexssander, S. Pd, Gr
Calon Guru Penggerak (CGP) Kabupaten Siak Tahun 2022/Guru SMP Negeri 3 Tualang