Pemindahan Ibukota Negara Republik Indonesia dimasa Pandemi, sudah pantaskah?
Taufan Herdansyah Akbar, S.IP.,M.Si
RIAU1.COM -Oleh : Taufan Herdansyah Akbar, S.IP.,M.Si
*Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik - Universitas Indonesia
*Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Achmad Yani
“ Lokasi ibukota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur ”
- Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia) -
Isu Pemindahan Ibukota Negara Republik Indonesia santer menjadi buah bibi rpembicaraan dan isu nasional setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi ideal Ibu Kota Negara atau yang disingkat IKN pada (26/08/2019) pada saat konferensi pers di Istana Negara. Dalam kesempatan tersebut Jokowi menyampaikan lokasi ibukota Indonesia akan dipindahkan ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelum Jokowi mengumumkan kepada publik, rencana pemindahan IKN ini telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 tentang pemindahan ibukota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.
Pemindahan Ibu Kota bukan hanya terjadi di Indonesia bahkan negara serumpun kita Malaysia lebih dahulu memindahkan Ibu Kota Negaranya. Pemerintah Malaysia mempertimbangkan enam wilayah yang akan dijadikan pusat pemerintahan baru pada tahun 1990. Enam wilayah itu antara lain, North West Rawang, Janda Baik, North Port Dickson, Sepang Coast, Kenaboi Plains, dan Perang Besar (Putrajaya). Akhirnya, Putrajaya pun dipilih oleh pemerintah Malaysia. Sejak mengumumkan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia pada 1993, pembangunan pertama kota baru itu baru dimulai pada Oktober 1996. Namun, proses pemindahan pusa tpemerintahan Malaysia itu menghadapi tantangan besar karena kondisi perekonomian dunia tengah dilanda krisis menjelang 1997
Mengusung nama“ Nagara Rimba Nusa”, rencan apemindahan ibukota Indonesia bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang merata dan adil serta system birokrasi yang dapat mencakup keseluruh wilayah dan penjuru di Indonesia. Tujuan pemindahan untuk menciptakan identitas yang kuat dari Indonesia dengan dibuatnya ibukota yang berada di tengah-tengah wilayah Indonesia yang lebih representative dengan konsep Indonesia Sentris, tertata dan memilk iakses yang mudah dijangkau daris eluruh wilayah Indonesia. Tujuan lainnya adalah melihat urgensi letak DKI Jakarta berada di Pulau Jawa yang rentan akan bencana alam karena dilewati beberapa sesar gunung aktif ditambah pernyataan beberapa ahli iklim yang meramalkan tenggelamnya sebagian pulau jawa pada tahun 2050.
Namun, sebelum masuk ke dalam road map pembangunan IKN ini, alangkah lebih baik bila pemerintah pusa tmemikirkan hal-hal yang menjadi dasar keberlangsungan ibukota di masa yang akan dating seperti ancaman pertahanan-keamanan, stabilitas ekonomi, dan lingkungan hijau berkelanjutan, terlebih pemindahan Ibukota ini memunculkan banyak polemik dan kritik dari beberapa pihak yang menilai bahwa rencana tersebut terkesan tergesa-gesa melihat kondisi Indonesia yang masih berjuang melawan Covid-19,ditambah APBN saat ini yang dipusatkan (refocusing) untuk penanganan pandemi. Meg aproyek ini sudah barang tentu akan menelan banya kbiaya, bil akita mengkomparasikan dengan pembanguna n ibukotabaru Malaysia yang berada di Putrajaya, pada saa titu pembiayaan sangat membengkak seirin gterjadinya inflasi ditambah ditengah-tengah krisis Ekonomi 90’an. Indonesia apabila memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan akan menghabiskan dana sebesar Rp 466,98 triliun. Dana ini terdiri dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), biaya tersebut pasti akan mengalami pembengkakan dan khawatir melihat stabilitas ekonomi yang saat ini masih belum stabil, menjadikan megaproyek ini berhenti ditengahj alan nantinya.
Hal lainnya adalah melihat dari segi kajian ekologis berkaca pada pembangunan ibukota baru Malaysia, Malaysia membangun Ibu Kota barunya di Putrajaya dahulu adalah wilayah Prang Besar yang merupakan perkebunan karet dan sebagian sawit. Saat pembangunan ibukotanya, Malaysia harus merelakan perkebunan karet dan sawit milik kesultanan Selangor. Sedangkan Indonesia akan menghabiskan pembangunan di wilayah rawa dan Hutan. Hutannya terdiri dari hutan produksi, hutan lindung, dan hutan yang digunakan untuk penelitian Universitas Mulawarman. Di bagian Selatan, terdapat Bukit Bangkirai, yang merupakan pusat konservasi orang utan. Dari hal tersebut, jelas bahwa pembangunan Ibu Kota Negara Indonesia yang baru akan mengorbankan lingkungan sekitar mengingat area yang akan dibangun kawasan ibukota baru inia dalah kawasanhuta nhijau Kalimantan dimana pada saat pembangunannya nanti mungkin saja beberapa kawasan tersebut berpotensi mengalami ancaman deforestasi,
Masalah lain yang tidak bias dilepaskana dalaha danya potensi motif politik atau ekonomid alam pembangunan ibukota baru, apalagiada vendor asing seperti Uni Emirat Arab dan China. Ibu kota baru menjadi alat diplomasi ekonomi dengan sejumlah negara. Di sisi lain, proyek ini bias berkorelasi dengan isu lain seperti masalah periode tiga jabatan kepemimpinan presiden.Dari ha ltersebut kita bias melihat bahwa rencana pembangunan IKN ini masih banyak celah kegagalan yang harus dikaji bersama baik dengan Akademisi, Swasta, Koorporasi, bahkan Masyarakat Umum sekalipun. Akhirnya konsep pemindahan Ibu Kota Negara ini hanyalah sebatas gengsi politik semata. Lalu, sudah pantaskah Ibukota Negara dipindahkan? (***)