Kesalahan Besar: Mengaitkan Agama dengan Terorisme

2 November 2020
Idris Laena

Idris Laena

RIAU1.COM - Presiden Jokowi, didampingi Wakil Presiden Maruf Amin beserta tokoh lintas agama telah mengadakan konprensi pers. Yang intinya mengecam keras pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menghina Agama Islam dalam menyikapi pembunuhan oleh seorang Islam bernama Abdullah Abzorov kepada seorang guru di Perancis bernama Samuel Pati yang mengajarkan kebebasan berekspresi.

Dengan menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW yang dia ambil dari majalah SATIR Charlie Hebdo. Namun demikian, pada Kesempatan itu,Presiden Jokowi juga mengecam keras pembunuhan yang terjadi di Paris itu maupun pembunuhan yang terjadi di Nice Perancis.

Dari kronologi tersebut, sebetulnya ada tiga kata junci; Pertama, kebebasan berekspresi yang kebablasan karena dengan melecehkan keyakinan Agama lain. Kedua, tindakan kekerasan yang sama sekali tidak pernah dibenarkan oleh Agama manapun. Ketiga, menghina Agama lain dan mengaitkan dengan Terorisme.

Sebetulnya, tragedi demi tragedi yang muncul akibat masalah seperti diatas sudah sering terjadi. Namun kali ini,mendapat perhatian luas karena,seorang Presiden dari Negara maju bernama Immanuel Macron menyikapi dengan emosional yang justru cenderung menghina Agama lain.

Yang tentu perlu disikapi dengan serius adalah, jika seorang Presiden dari sebuah Negara maju masih mempunyai pandangan yang keliru tentang Islam,maka pasti ada sesuatu yang salah. Minimal komunikasi Internasional yang selama ini menjadi domain dan menjadi tempat berhimpun Negara-Negara Islam OKI (Organisasi Kerjasama Islam yang didirikan di Rabat-Maroko 25 September 1969 dan beranggotakan 57 Negara. Serta memiliki Perwakilan Resmi di PBB) tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia? Apakah hanya cukup mengecam jika ada tragedi?

Indonesia seharusnya bisa berperan besar menjadi komunikator yang baik dengan negara-negara lain di Dunia.Selain karena Islam yang dipahami adalah Islam yang Rahmatan Lil Alamin, juga sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia, yakni menjaga toleransi antar Agama dan membangun toleransi antar umat beragama. Sehingga stigma Islam sebagai Agama radikal bisa hilang dengan sendirinya.

Syahdan, ketika Sultan Muhamad Al Patih (Mehmet II) berhasil merebut Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453, penduduk yang beragama Kristen berlari ketakutan dan berkumpul di Haga Sovia. Mereka membayangkan akan dibinasakan oleh Sultan yang merupakan turunan ketujuh Kesultanan Ottoman yang berusaha merebut Constantinope.

Namun apa yang terjadi, didepan masyarakat, Sultan berjanji melindungi mereka (saat itu Romawi Timur dan Romawi Barat juga dalam keadaan bermusuhan) serta tetap menjamin kebebasan mereka untuk memeluk Agamanya.

Saya tidak tahu persis lembaga apa yang seharusnya mengambil peran ini. Namun Pemerintah kita punya Kementrian Agama, Majlis Ulama Indonesia. Belum lagi organisasi-organisasi Islam yang merupakan partisipasi aktif masyarakat dalam mensyiarkan Islam yang Rahmatan lil Alamin itu. Serta Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang punya Group Kerjasama Bilateral atau Majelis Permusyaratan Rakyat Indonesia yang terus mensosialisasikan Nilai-Nilai Empat Pilar Kebangsaan.

Yang jelas, saatnya masyarakat dunia diberikan pemahaman dan merubah persepsi mereka. Bahwa mengaitkan Agama dengan radikalisme maupun terorisme adalah kesalahan yang besar.

 

Oleh: Ir.HM.Idris Laena, MH
(Ketua Fraksi Golkar MPR RI)