UU Omnibus Law; Berdirilah Dengan Betul di Tempat Yang Betul

8 Oktober 2020
Abuzar SH

Abuzar SH

RIAU1.COM

Melihat fenomena pengesahan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI, yang menjadi gaduh dan ditolak keras oleh para buruh saat ini, mengingatkan saya kembali pada dinamika aktifitas saat menjalani perkuliahan puluhan tahun lalu.

Waktu membaca judul atau penamaan Undang- Undang yang akan mengatur para pekerja (buruh) dan pengusaha (perusahaan) dalam hubungan kerja terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak ini, saya sudah tidak tertarik atau bahasa lainnya tidak sreg memperhatikannya lagi.

Bagaimana tidak, dari bahasanya saja Omnibus Law sudah asing di telinga. Bukankah kita ini sebuah negara yang mempunyai bahasa resmi kenegaraan. Bukankah kita ini mempunyai dialek atau pertuturan asli yang dipakai oleh anak bangsa, masyarakat warganegara ini sehari-hari?

Lalu apakah yang mendorong pembuat atau pengusul Undang-Undang ini (baca : pemerintah) memakai kata-kata asing untuk membuat Undang-Undang atau peraturan yang akan berlaku di negara kita yang berbahasa Indonesia ini?

Apakah dengan memakai kata asing ia merasa hebat, atau pembuat itu merasa keren supaya dianggap pintar dengan berbahasa asing? Ataukah si pengusul undang-undang Omnibus Law itu merasa minder memakai bahasa Indonesia, yang ia gunakan sehari-hari di negeri ini? Ataukah memang ia mempunyai kepentingan lain untuk mengaburkan maksud sebenar dari yang ingin dicapai, makanya memakai bahasa yang tidak jelas menunjuk kepada benda yang sebenarnya, atau tujuan dari sesungguhnya yang dimaksud?

Kenapa tidak dibuat saja judulnya dengan bahasa kita sehari-hari?. Seperti Undang-Undang Lintas Sektor Pekerja, Atau Undang-Undang Gabungan Pekerja. Atau Undang-Undang Lengkap Cipta Kerja. 
Dari hal-hal prinsip ini saja tidak selesai, bagaimana kita mau masuk ke dalam substansi atau inti persoalan dalam pasal demi pasal dalam undang-undang atau peraturan dimaksud itu.

Inilah bagian-bagian masalah yang pada akhirnya memang menjadi masalah karut yang semakin besar. Sedangkan undang-undang ini ditujukan untuk mengatur dan menata para pekerja atau buruh yang diketahui berasal dari latar belakang pendidikan dominan menengah ke bawah mulai dari buruh yang tidak bersekolah, hanya tamatan SD; SMP, SMA hingga paling tinggi sarjana strata satu (S1). Jikapun ada, jumlahnya hanya sedikit pekerja atau buruh yang terdata dalam klasifikasi pendidikan sarjana magister (S2) dan S3. 

Dengan kenyataan tersebut, maka menjadi bertambah rancu pola komunikasi dari tujuan pembuatan undang-undang atau peraturan dengan materi bahasa yang asing, bahkan terlalu mengawang-awang dari maksud sebenarmya, atau lain dari bahasa penerima komunikasi yang dituju. 

Mestinya sebuah undang-undang atau peraturan disampaikan dengan jelas dan terang, agar dapat dipahami serta diterima dengan baik oleh orang-orang yang menjadi maksud penerapan aturan tersebut diberlakukan.

Contoh saja Malaysia yang merupakan negara tetangga serumpun kita. Dalam hal undang-undang mereka serius dan semaksimal mungkin memakai bahasa resmi negara untuk pemakaian tata bahasa penamaannya. Meskipun strata pendidikan warganegaranya sudah dominan berpendidikan, dengan percampuran bahasa asing antar negara yang banyak. 

Mereka tetap konsisten memakai bahasa Melayu Malaysia sebagai bahasa resmi dokumen negara dan risalah undang-undang.  Negara lainnya seperti Prancis yang bangga dengan bahasanya, Vietnam, Turki serta banyak negara lainnya menjaga keberadaan dan penggunaan bahasa resmi negaranya dengan kuat.

Maka Indonesia mestinya melakukan hal yang lebih baik dan konsisten seperti Malaysia serta banyak negara lainnya tersebut. Bukan malah ikut-ikutan memakai bahasa asing (Inggris) untuk penamaan sebuah undang-undang dalam negara kita. Sudahlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Perdata (KUH Per) kita sangat dominan bahasa asing terutama Belanda, karena memang diciptakan oleh rezim mereka saat masa penjajahan.  

Saya teringat saat sesi kuliah hukum dulu. Saat seorang dosen yang bergelar profesor menjelaskan materi hukum dari bukunya yang penuh bahasa asing itu, saya bertanya dengan serius. "Pak kenapa kita yang punya bahasa pertuturan kita, yang kita pakai dan mengerti sehari-hari, harus memakai dan mempelajari undang-undang dan peraturan dengan bahasa asing (Belanda) ? Apakah kita tidak mampu atau tidak bisa membuat aturan dengan bahasa kita sendiri yang terang dan jelas, dapat dimengerti oleh masyarakat warganegara kita?

Mendengar pertanyaan tersebut, sang dosen yang profesor itu terhenyak dan terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia menjawab. "Ya, begitulah adanya," katanya singkat.

Menurut hemat saya, saat ini di era kemerdekaan kita yang sudah lebih setengah abad ini, mestinya kita berupaya maksimal membuat undang-undang atau peraturan dengan bahasa asli bangsa kita.

Mengapa kita harus memakai bahasa asing untuk menyampaikan maksud kepada sesama saudara kita dalam satu negara?. Ibarat dalam satu keluarga atau satu kampung, untuk berkomunikasi atau menyampaikan maksud kita, apakah kita akan memakai bahasa ibu orang lain, atau bahasa kampung lain kepada saudara kita dalam keluarga atau sekampung? Tentu tidak begitu, karena jelas hal tersebut sangat aneh dan janggal rasanya.

Untuk itulah, jika ingin menyampaikan maksud dan tujuan kita, sampaikanlah sesuatu maksud itu dengan jelas dan terang, agar mudah dimengerti pesannya dan dapat pula dipahami tujuannya. Tidak mengambang dan susah dipahami.

Kecuali jika memang maksud dan tujuan itu memang tidak sebagaimana sesungguhnya diinginkan. Itu sudah lain ceritanya. Maka hendaknya kepada kita semua, Berdirilah Dengan Betul di Tempat yang Betul.

Oleh: Abuzar SH/Ketua Kajian Aksi Demokrasi Rakyat (KADAR)/Penggiat MAKNA