Kisah Perih Mahasiswa Pada Hari Pendidikan 

2 Mei 2020
Dr. Abdullah Khusairi. MA, /Langgam.id

Dr. Abdullah Khusairi. MA, /Langgam.id

RIAU1.COM -oleh Dr. Abdullah Khusairi. MA, 
*Dosen Komunikasi Pemikiran Islam, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang

Hari Pendidikan Nasional tahun ini tanpa ada kemeriahan upacara, sambutan-sambutan hebat dari para pejabat dan tanpa penghargaan-penghargaan. Semua kegiatan-kegiatan rutin tahunan itu sudah dihalau oleh pandemi Covid-19. Seluruh tenaga pendidik, pelajar, mahasiswa, juga terdampak, tidak bisa menjalankan peran, tugas dan fungsi masing-masing. Harus berada #DirumahAja hingga sampai waktu yang belum ditentukan.
 
Sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi, merasakan kerinduan yang teramat dalam tidak bisa lagi ke kelas. Semua tugas, proses belajar dan mengajar, harus dilaksanakan secara online dari rumah. Melalui berbagai medium online, dilaksanakan kewajiban masing-masing civitas akademika. Sudah masuk bulan ke dua, online-online ini ternyata tak seindah yang dibayangkan oleh pejabat-pejabat di Jakarta.


Mengajar di enam kelas dengan mahasiswa dari berbagai daerah, semester ini dijalani dengan suasana darurat. Kadang-kadang, saya tak hendak berberat-berat memberi tugas ke mahasiswa. Menurut pengakuan mereka, tugas menumpuk, paket data seret, jaringan online di kampung halaman tidak lancar, listrik sering mati. Apa akal? Mungkinkah itu pernyataan bohong? karena malas? Bisa, tetapi itu tidak banyak. Pengalaman menunjukkan, dalam satu kelas selalu ada kurva typologi mahasiswa. Merujuk dinamika kelompok, selalu ada yang paling rajin, setengah rajin, tidak rajin, sangat tidak rajin, dst. Seorang tenaga pengajar akan bisa membaca itu berkat pengalaman dan kegiatan kelas.

Begitulah pengalaman hari-hari melaksanakan kuliah online. Awalnya optimis bisa memakai medium yang bisa bertatap wajah, senyatanya mereka mengeluhkan jaringan internet tidak memadai. Diajak berdiskusi di ruang percakapan, tak banyak yang aktif, diberi tugas banyak yang mengeluh. Agar setiap pertemuan menjadi menarik, dibuatlah suasana online yang riang, ada yang antusias dan tentu ada yang diam seribu basa. Sekadar menulis nama, menunjukkan hadir di kelas online.
 
Pengakuan tidak efektifnya kuliah datang dari mahasiswa. Saya mengumpulkan ratusan jawaban yang sama, juga tulisan-tulisan pengalaman, pemikiran, perasaan selama di rumah. Terkumpul dalam satu “Antologi Mahasiswa #DirumahAja, Betapa Sakitnya Melihat Emak Banting Tulang; Sejumlah Cerita Mahasiswa Ketika Virus Corona Melanda.” Saya menyunting tulisan itu sedemikian rupa, lalu dibuat kata pengantar, cover, maka di-pdf-kan. Kemudian dikirim kembali ke ruang percakapan. Heboh dan antusias. Ada yang komplain, mengirim tetapi tidak masuk. Ternyata terlambat, melampau deadline yang diberikan. Selalu ada yang begitu dalam setiap kelas.

Tulisan-tulisan mahasiswa itu adalah gambaran kendala proses belajar secara online. Belum terbiasa, harus berjuang dengan keadaan. Ada yang memanjat pohon untuk mendapat sinyal internet, ada yang pergi ke bukit-bukit, ada yang sambilan menolong orang tua, ada yang kerja agar bisa beli paket data. Mahasiswa dari tingkat ekonomi keluarga yang berbeda-beda, pada suasana pandemi, tentulah gangguan yang nyata dalam menuntut ilmu. Ada juga tulisan yang optimis, sambil menolong keluarga bisa kuliah. Menyadari susahnya orang tua mencari uang demi memenuhi kebutuhan pendidikan keluarga, sehingga malu untuk meminta uang beli paket data internet. Kesadaran yang membuat anak sungai di pipi mereka. Duh!.


Rasa sakit di sendi akan hilang sekali dan untuk selamanya!
Bila beberapa tahun silam, saya pernah menuliskan “Kisah Sedih Pendidikan Kita”, karena ada siswa-siswi berseragam sekolah dasar yang menyeberang sungai, bergantungan di jembatan untuk pergi-pulang ke sekolah, kini kisah beralih. Perihnya mahasiswa-mahasiswi untuk berjuang melawan keadaan. Harus bisa sarjana walau dengan keterbatasan.

Apapun teori pembelajaran, kini sedang tidak akan efektif. Apapun kebijakan pendidikan pemerintah selama ini, kini sedang perlu diperiksa. Lebih-lebih bila menyesuaikan dengan kondisi geografis, psikologis, psikis, sosial dan budaya. Hampir tidak bisa diharapkan dengan kebijakan umum, pidato hebat di media televisi. Lihatlah ke seluruh penjuru, jangan hanya melihat dunia pendidikan dari Jakarta untuk Indonesia. Tidak mangkus! Indonesia tidak hanya Jakarta.

Hampir jamak, perguruan tinggi selama ini terlena dan lamban menghadapi disrupsi sosial. Mengikuti pola pembangunan pemerintah yang serba berada di belakang dari keadaan dan perkembangan pasar. Kampus-kampus yang tidak dinamis, sudah diperingatkan akan menjadi museum jika tidak menggeliat mencari jalan baru, menyamakan posisi dengan pasar. Misalnya, ada jaringan internet tetapi lelet, sama dengan tidak adanya.

Kampus adalah tempat diolahnya pemikiran-pemikiran baru senyatanya terlanjur berlama-lama dengan kemapanan, arogan, antiperubahan, sementara itu teknologi informasi berkembang pesat dan datang tanpa mengetuk pintu. Teknologi informasi yang lahir dari kampus-kampus luar yang punya inovasi itu menguasai jagat kehidupan itu.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini, harus menjadi renungan segenap tenaga pendidikan, civitas akademika, ilmuwan, cendekiawan, semua yang termasuk ke stratea orang-orang cerdas itu, agar kembali menyeret dunia ilmu menghasilkan sesuatu untuk kehidupan sosial. Tidak ilmu untuk ilmu semata, tetapi ilmu untuk perubahan sosial, yang harus diteriakkan ke telinga pengambil kebijakan yang cenderung akhir-akhir ini bebal. Selamat hari pendidikan nasional. [*]