BMKG Mulai Siaga Megathrust-Tsunami Selat Sunda-Mentawai

28 Januari 2025
Paparan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam WEBINAR “Resolusi 2025 : Mitigasi Bencana Geologi”, (tangkapan layar Youtube Teknik Geofisika ITS)

Paparan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam WEBINAR “Resolusi 2025 : Mitigasi Bencana Geologi”, (tangkapan layar Youtube Teknik Geofisika ITS)

RIAU1.COM - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pemodelan guncangan gempa megathrust Selat Sunda. 

Dengan skenario guncangan gempa M8,7. Dwikorita mengatakan, pemodelan itu dilakukan dalam rangka persiapan mengantisipasi ancaman gempa megathrust. Hal itu dibeberkannya saat jadi pembicara dalam webinar "Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi" yang ditayangkan Teknik Geofisika ITS di kanal Youtube resminya, 17 Januari 2025.

Dia menjelaskan, dari hasil pemodelan itu dapat diprediksi, wilayah yang akan terkena dampak guncangan gempa itu adalah Banten, Jakarta, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatra Selatan dengan intensitas V-VII MMI dengan deskripsi terjadi kerusakan sedang-berat.

"Ini kami sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan piak terkait agar melakukan antisipasi dan kesiapan. Kita nggak tahu apakah terjadi 2025, atau 2000 sekian, Wallahu A'lam ya, tapi kita harus siap," katanya, dikutip 
CNBC Indonesia, Selasa (28/1/2025).

Skenario model gempa megathrust Selat Sunda itu, ujarnya, dilengkapi dengan skenario model tsunami, tingginya bisa di atas 3 meter.

"Bisa 10 meter lebih, belasan meter, bahkan mungkin 20 meter. Yaitu di Pantai Selat Sunda, Banten, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bengkulu. Teluk Jakarta juga kena, tapi hanya sekitar 50 cm, sekitar itu" papar Dwikorita.

"Nah ini kami juga buat model yang sama dengan asumsi gempa megathrust di berbagai wilayah. Misalnya di Kota Cilegon, itu kan kota industri ya. Dampaknya bisa ada bencana ikutan. Peta-petanya sudah kami sampaikan ke pihak berwenang, pemerintah daerah terkait," tambahnya.

Demi mengantisipasi megathrust, kata Dwikorita, BMKG juga melipatgandakan peralatan yang dibutuhkan untuk sistem peringatan dini, terutama tsunami, jika gempa megathrust terjadi.

"Megathrust benar-benar kami jaga, kita lipatkan jumlah sensornya. Dan kita juga sedang siapkan sistem peringatan dini gempa bumi, sedang dalam proses penyiapan, dan bekerja sama dengan Taiwan,' sebutnya.

"Kami juga pasang sensor-sensor muka laut, sensor-sensor cuaca, sirene Tsunami. Khusus megathrust Selat Sunda, kami kontribusi 15 sirene dan juga edukasi masyarakat. Karena menurut Undang-Undang tidak mengamanatkan BMKG menyiapkan sirene tsunami, jadi sebenarnya bukan wewenang BMKG. Karena di situ potensi terjadi multibencana," ujar Dwikorita.

Selain di megathrust Selat Sunda, BMKG juga melakukan pemodelan gempa dahsyat di megathrust Mentawai-Siberut dengan skenario guncangan mencapai M8,9.

"Jika terjadi, guncangan itu diprediksi akan berdampak ke Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sebagian Riau, Bengkulu, dan Sumatra Utara, mencapai skala intensitas VII-VIII dengan deskripsi terjadi kerusakan berat," ungkap Dwikorita.

"Dan ini sudah disampaikan kepada Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Skenario model tsunaminya juga sudah disampaikan. Ketinggiannya bisa lebih dari 3 meter di Pantai Kepualuan Mentawai, Sumatra Barat, dan sebagian Bengkulu dan Sumatra Utara," jelasnya.

Alasan Kenapa BMKG Siap Siaga

Lalu, bagaimana sebenarnya potensi ancaman megathrust di Indonesia? Kenapa BMKG sampai bersiap siaga hingga menambah peralatan-peralatannya?

Dwikorita menuturkan, kejadian gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Dia pun mengingatkan pentingnya pendekatan mitigasi bencana geohidrometeorologi. Tidak hanya gempa bumi dan tsunami, tetapi juga bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.

Disebutkan, letak Indonesia memang berlokasi di pertemuan 3 lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Selain itu, terdapat 14 segmen sumber gempa subduksi/ megathrust, serta 402 segmen sumber gempa sesar aktif yang sudah teridentifikasi. Juga, masih banyak lagi yang belum teridentifikasi.

"Aktivitas kegempaan yang termonitor BMKG mengalami lompatan. Berdasarkan data aktivitas data gempa jangka panjang, ada pola kejadian gempa di Indonesia terus meningkat setiap tahun," katanya.

"Rata-rata kejadian gempa di tahun 1990-2008 sekitar 2.254 gempa per tahun. Namun, tahun 2009-2017 meningkat jadi 5.389 kejadian gempa. Kemudian melompat mulai tahun 2018-2019, bahkan 2020 ya, melompat bahkan 2018 itu 12.062, 2019 itu masih 11.731," ucap Dwikorita.

Lalu, terjadi lonjakan kejadian gempa yang signifikan di tahun 2024. Tercatat ada 29.869 kali kejadian gempa, dengan jumlah alat kurang lebih sama dengan tahun 2023.

"Poinnya di sini memang terjadi tren peningkatan aktivitas kegempaan. Terutama untuk gempa dangkal ini memang meningkat. Juga ada fenomena patahan-patahan aktif di darat semakin banyak yang jadi sumber gempa," terangnya.

"Tren gempa merusak di Indonesia terus terjadi. Dan tahun 2024, terjadi 20 kali gempa merusak. Kalau tahun 2018-2023, 119 kali gempa merusak. Jadi tadi, ada sedikit penurunan dari tahun 2020-2023 meski masih 11.000-an, tapi gempa merusaknya semakin meningkat," papar Dwikorita.

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab, jelasnya, sesuai Undang-Undang Nomor 31/2009 dan turunannya, tugas utama BMKG itu memberikan layanan berupa informasi, info dini gempa bumi, dan peringatan dini Tsunami. Juga informasi tentang cuaca dan iklim, serta informasi kualitas udara dan peringatan dininya.

"Sehingga, kami harus terus mewaspadai zona seismic gap yang ada di Selatan Banten dan Selat Sunda, sudah ada sejak tahun 1757 dan di Wilayah Mentawai-Siberut itu sudah sejak 1797. Sudah lebih 227 tahun. Sudah seharusnya kami bersiap untuk itu," ungkapnya.

Seismic gap megathrust Selat Sunda, kata dia sudah mencapai 267 tahun dan seismic gap di Mentawai-Siberut sudah 227 tahun.

Padahal, lanjutnya, megathrust Nankai di Jepang "hanya" 78 tahun dan sudah lepas. Begitu juga dengan megathrust Tohoku-Oki yang sudah lepas juga di tahun 2011, ada seismic gap 176 tahun.

Kemudian, megathrust Aceh-Andaman yang juga sudah rilis energi, dengan seismic gap 97 tahun.

"Nah yang belum terjadi yang sedang ditunggu itu adalah di Selat Sunda dan di Mentawai-Siberut, sudah lebih dari 227 tahun. Sehingga, sudah seharusnya kami untuk bersiap untuk itu. Teknologi kita tingkatkan, kita bangun terus sistemnya,"katanya.

Dia pun memaparkan data yang menunjukkan aktivitas gempa terlihat jarang di zona seismic gap Selat Sunda.

"Kenapa kita sebut seismic gap di situ karena memang ada kekosongan. Ada gap. Dan di situ kita khawatir akan terlepas sewaktu-waktu. Karena masanya sudah terlewati," warning Dwikorita.*