PB HMI MPO Bahas Keindonesiaan, Kebangsaan Hingga Keislaman

21 Agustus 2020
Saat webinar

Saat webinar

RIAU1.COM - Setelah sukses menggelar Webinar Nasional dengan tema “Telaah Kritis marxisme-Komunisme” kali ini PB HMI MPO melalui Komisi Intelektual dan Peradaban kembali melaksanakan Webinar dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 75 Tahun dengan mengusung tema “Mempercakapkan Keindonesiaan dalam Bingkai Kebangsaan dan Keislaman” yang digelar pada Rabu, 19 Agustus 2020 secara daring. 

Webinar kali ini mengundang pembicara, Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag selaku Akademisi UIN Sunan Ampel, Mohammad Syifa Amin Widigdo, Ph.D selaku Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Alto Makmuralto selaku ketua Umum PB HMI MPO Periode 2011-2013 dan dimoderatori oleh Wasekjend Komisi Intelektual dan Peradaban, M. Yunasri Ridhoh. 

Ketua Umum PB HMI MPO Affandi Ismail dalam sambutannya mengatakan,Webinar ini digerlar sebagai implementasi semangat agen of change dan social of control dari HMI MPO untuk keutuhan bangsa. “Sebab dalam sejarah panjang HMI sejak dilahirkan hampir sama usianya dengan Indonesia, dan  hadir dalam mepertahankan keutuhan negara.  Begitu pun agama yang hadir sebagai rahmatan lil alamin tentunya harus dipahami memiliki peran strategis untuk setiap saat menjaga stabilitas negara kesatuan Indonesia,” ujarnya. 

Affandi berharap hasil diskusi ini bisa digodok oleh Komisi Intelektual dan Peradaban menjadi sebuah kajian komprehensif dalam bentuk narasi, sebagai bentuk pandangan umum PB HMI MPO dalam membaca kondisi kebangsaan hari ini. “HMI tidak boleh melemah, tapi bagaimana dengan pikiran-pikiran besarnya, pengetahuan yang dilahirkan dalam proses kaderisasi harus mampu diimplementasikan untuk melahirkan situasi yang stabil dalam konteks sosial kita,” ujarnya. 

Syifa saat memaparkan materinya mengatakan, bahwa era kebangsaan di Indonesia dimulai saat penjajahan Eropa. Dan di situlah muncul imajinasi tentang kebangsaan. Hal yang tak bisa dilupakan adalah imajinasi kebangsaan banyak pula disumbangkan oleh gerakan Islam yang tumbuh subur waktu itu.  

“Para funding fathers berdiskusi tentang bagaimana konsep kebangsaan yang kita anut, dan gerakan keislaman seperti SDI, SI, NU, Muhammadiyah, punya kontribusi dalam merumuskan bagaimana kita membayangkan Indonesia sebagaimana yang kita inginkan,” ujarnya.

Sementara Ahmad Zainul dalam materinya memaparkan jika bayangan tentang Indonesia dan kebangsaan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan, bahkan dibayangkan oleh anak-anak muda pada 1928 yang saat ini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. 

Artinya, bayangan tentang kebangsaan ini digagas dari banyak kontribusi. Misalnya Soekarno juga sudah membayangkan tentang keindonesiaan yang dituangkan dalam karya bukunya berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.  Di situ Bung Karno sudah mengagas tentang nation state. Dan basis nation ini, kata Ahmad Zainul selalu didasarkan pada etnis dan agama. 

“Tahun 1928 ketika Bung karno menuliskan tulisan itu, dia mengambil definisi nation dari Ernest Renan adalah kumpulan orang-orang apapun etnismu, agamamu, kalau disatukan nasib kesejarahan yang sama maka kamu sebuah bangsa yang satu,” ujarnya.

Berdasarkan definisi nation terserbut, antara nasionalisme, islamisme, dan marxisme mungkin untuk bersatu dalam satu bangsa. Maka kata Ahmad Zainul sejak awal gerakan kemerdekaan memiliki basis ideologi yang berbeda-beda. Ahmad Zainul akhirnya berada pada kesimpulan, bahwa Indonesia tak didefinisikan oleh kelompok tertentu. Namun hasil dari kontestasi ideologi, termasuk Islam yang juga memiliki peran penting. 

Hal ini ditegaskan karena dalam perkembangan kebangsaan kita, masih ada arus gerakan Islam yang obsesif menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Padahal sejak awal kebangsaan kita didefinisikan oleh keindonesiaan kita bersama. “Berbarengan dengan ini ada juga gerakan Islam, menempatkan dirinya menjadi satu keragaman bangsa ini. Karena bangsa ini tidak didefinisikan oleh kelompok tertentu,” ujarnya. 

Sementara Alto Makmuralto juga meyakini sejak awal keindonesiaan yang bersistem demokrasi lahir dari kesepakatan bersama. Meski demokrasi dalam beberapa negara melahirkan banyak permasalahan, namun bagi Alto dalam konteks keindonesiaan, demokrasi menjadi sistem yang cukup cocok dengan situasi bangsa yang beragam. “Suka tidak suka, meski terdapat celah di dalamnya, demokrasi perlu kita terimas sebagai landasan sistem kenegaraan kita,” ujarnya. 

Dalam aspek keberagamaan kita, lanjut Alto, demokrasi memungkinkan kehidupan beragam antar agama. Islam, dan agama lain bisa hidup di dalamnya. Bahkan di internal umat Islam yang banyak mazhab, bisa hidup di alam demokrasi. Namun di sisi lain, ada segolongan umat Islam yang menuntut formalisasi Islam di Indonesia. 

Padahal rumusan Indonesia sebagai negara berketuhanan sudah menjadi pilihan yang adil. Dalam bentuk negera tersebut, bagi Alto, Indonesia bukan negara agama dan bukan juga negara sekuler, tapi negara yang berketuhanan. Jadi bagi Alto tidak benar jika ada anggapan agama tidak digunakan dalam regulasi negara. “Kita bukan negara yang menerapkan prinsip agama secara formal, tapi di beberapa undang-undang negara menyerap nilai agama dalam hukum formal. Misalnya dalam hukum perkawinan,” tandasnya. (*)