Ini Kata BMKG Soal Panas Terik Sejak Hari Pertama Setelah Lebaran

Ini Kata BMKG Soal Panas Terik Sejak Hari Pertama Setelah Lebaran

26 Mei 2020
Seorang pejalan kaki pakai payung karena panas terik.

Seorang pejalan kaki pakai payung karena panas terik.

RIAU1.COM - Banyak orang merasa gerah karena cuaca panas terik sejak hari pertama Lebaran hingga hari ini. 

 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan cuaca panas yang terjadi sejak hari pertama lebaran 2020 hingga saat ini di beberapa wilayah Indonesia akibat lapisan bawah atmosfer yang relatif kering.

Prakirawan BMKG Nanda Alfuadi mengatakan hal itu berdasarkan hasil pengukuran BMKG pada lapisan atas atmosfer.

"Cuaca cerah yang terjadi pada hari pertama lebaran hingga hari ini disebabkan oleh kondisi atmosfer yang relatif kering pada lapisan bawah," ujar Nanda seperti dilansir  CNNIndonesia.com, Selasa (26/5).

Nanda menuturkan BMKG menggunakan alat radiosonde untuk mengukur atmosfer lapisan atas setiap pukul 07.00 WIB.

Misalnya, wilayah DKI Jakarta yang diwakili dengan pengukuran radiosonde di Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta menunjukkan bahwa kelembaban (RH) pada lapisan 850 milibar tidak lebih dari 75 persen.


"Kondisi atmosfer yang relatif kering pada lapisan bawah ini menunjukkan bahwa potensi pembentukan awan hujan juga tidak cukup signifikan sehingga inilah yang menyebabkan kondisi cuaca cerah yang dominan terjadi 3 hari terakhir," ujarnya.
 

Lebih lanjut, Nanda menjelaskan cuaca cerah dalam beberapa hari terakhir juga disebabkan oleh terbentuknya daerah subsidensi atau daerah kering pasca Madden Julian Oscillation (MJO) melintasi wilayah Indonesia.

Dia berkata MJO tengah aktif di wilayah Indonesia dan saat ini tengah aktif di Samudera Pasifik timur Papua Nugini.

MJO merupakan suatu fenomena gelombang atmosfer yang bergerak merambat dari belahan barat (Afrika) ke timur (Samudera Pasifik) dan dapat meningkatkan potensi hujan pada daerah yang dilewatinya.

"Dampak dari pasca aktivitas MJO di Indonesia ini adalah terbentuknya daerah kering di wilayah yang telah dilalui MJO ini," ujar Nanda.

"Polanya umumnya begitu. MJO aktif, menyebabkan hujan lebat. Kemudian MJO bergerak semakin ke timur, Indonesia menjadi relatif lebih kering," ujarnya.
 

Sebelumnya, BMKG menyatakan cuaca terik dan gerah yang terasa belakangan ini terjadi akibat beberapa faktor seperti suhu udara yang tinggi, kelembaban udara yang rendah.

Suhu dan kelembaban tinggi ini terutama terjadi pada kondisi langit cerah dan kurangnya awan.

Loading...

Sebab, pancaran sinar matahari langsung lebih banyak diteruskan ke permukaan Bumi. Berikut beberapa hal yang mempengaruhi kondisi panas dan gerah tersebut:

1. Peralihan ke musim kemarau

Berkurangnya tutupan awan terutama di wilayah Indonesia bagian selatan pada bulan-bulan ini disebabkan wilayah ini tengah berada pada masa transisi dari musim hujan menuju musim kemarau.

Transisi musim itu ditandai oleh mulai berhembusnya angin timuran dari Benua Australia (monsun Australia) terutama di wilayah bagian selatan Indonesia. Angin monsun Australia ini memiliki sifat kering atau kurang membawa uap air sehingga menghambat pertumbuhan awan.

Kombinasi antara kurangnya tutupan awan dan suhu udara yang tinggi, lalu cenderung berkurang kelembapan inilah yang menyebabkan suasana terik yang dirasakan masyarakat.

2. Momen suhu menghangat di Indonesia

Akibat peralihan musim ini, suhu di sejumlah daerah di Indonesia pun bakal menghangat. BMKG pun sebelumnya sudah memprediksikan jika pada periode Maret-Mei 2020 suhu bakal terus menghangat di sebagian besar wilayah di Indonesia.

BMKG mengindentifikasi banyak daerah yang mengalami suhu maksimum 34 derajat sampai 36 derajat Celsius bahkan mencapai 37 derajat Celsius tanggal 10 April 2020 di Karangkates, Malang, Jawa Timur.

Sementara kelembapan udara minimum di bawah 60 persen, terpantau terjadi di sebagian wilayah di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, sebagian Jawa Timur, dan Riau.

3. Pemanasan global

Meningkatnya suhu di Indonesia juga terjadi akibat fenomena pemanasan global. 

BMKG menggunakan data dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) tanggal 15 Januari 2020 yang menyatakan bahwa tahun lalu merupakan tahun terpanas kedua sejak 1850.

Analisis BMKG juga menunjukkan hal serupa untuk suhu rata-rata di wilayah Indonesia, yang mana pada 2019 merupakan tahun terpanas kedua sejak 2016.

Suhu rata-rata pada 2019 itu lebih hangat 0,95 derajat celsius dibanding suhu rata-rata klimatologis periode 1901-2000.

Berdasarkan analisis BMKG, tren peningkatan suhu juga disebabkan oleh tren pemanasan di lautan. Terpantau suhu permukaan laut terhangat dalam enam tahun terakhir.

Sementara di daratan, berdasarkan analisis data sejak 1866 terjadi kenaikan suhu yang mencapai 2,12 derajat celsius dalam periode 100 tahun terakhir.

 

Kemudian menghangatnya suhu muka air laut yang dapat memicu semakin sering atau makin menguatnya kejadian badai tropis di wilayah selatan atau utara Indonesia.

R1.