Indonesia Harus Bikin Sendiri Vaksin Covid-19, Ini Penjelasan Lembaga Eijkman

25 Maret 2020
Direktur LBME, Prof Dr Amin Soebandrio.

Direktur LBME, Prof Dr Amin Soebandrio.

RIAU1.COM - Indonesia harus membuat sendiri vaksin mengantisipasi penyebaran virus corona. Untuk itu,  Pemerintah menugaskan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) memimpin konsorsium untuk membuat vaksin anti virus corona (COVID-19).

 

Penugasan ini diemban karena lembaga Eijkman diketahui memiliki fasilitas, kemampuan, pengalaman, dan minat untuk itu.

Tugas ini diberikan sepekan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi( mengumumkan dua kasus pertama pasien COVID-19 pada 2 Maret lalu.

Kini, hingga 24 Maret kemarin, jumlah positif corona di RI mencapai 686 pasien, 30 berhasil sembuh dan 55 meninggal dunia.

"Di Eijkman kami sedang mengembangkan vaksin malaria, hepatitis, dengue. Dari bakterilogi sedang mengembangkan vaksin untuk penyakit paru paru juga," terang Direktur LBME, Prof Dr Amin Soebandrio, seperti dilansir detik.com di ruang kerjanya, Selasa, 24 Maret 2020.



Amin mengatakan, jika mengikuti arahan WHO, pembuatan vaksin harus selesai dalam waktu 18 bulan ke depan.

Namun dia berharap dalam waktu setahun pihaknya sudah bisa mendapatkan bibit vaksin untuk diserahkan ke industri yakni PT Bio Farma (Persero) untuk proses produksi lebih lanjut.
 

"Kan perlu ada uji klinis terbatas, uji klinis luas, dan sebagainya. Itu yang akan dilakukan oleh industri," ujar doktor bidang Immunogenetics dari Universitas Osaka, Jepang itu.


Berdasarkan pengalaman saat terjadi wabah Flu Burung pada 2003-2004, ia melanjutkan, Indonesia memang harus mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam membuat vaksin terutama vaksin pandemik.

Hal itu karena walaupun banyak negara yang membuatnya, tapi ketika terjadi pandemik negara produsen biasanya akan membatasi penjualan. Mereka akan memprioritaskan produk vaksinnya untuk kebutuhan warganya sendiri.

Kalau pun kemudian bersedia menjual, dipastikan harganya akan berkali lipat dari harga dalam kondisi normal.

Amin mencontohkan, bila WHO menetapkan harga vaksin untuk imunisasi massal misalnya satu dolar per dosis, saat terjadi pandemik harganya mungkin bisa 10 kali lipatnya.

"Nah kalau Indonesia penduduknya 260 juta, dan harus mengimunisasi 150 juta orang saja. Setiap orang disuntik dua kali, kita perlu 300 juta dosis dikalikan 10 dolar. Bila sekarang 1 dolar sudah Rp 17 ribu, berarti anggaran negara yang harus disiapkan mencapai RP 51 triliun," papar Amin.
 


Tak cuma akan membebani keuangan negara, bila tak membuat vaksin sendiri proses imunisasi juga diperkirakan baru akan selesai dalam beberapa tahun. Hal itu lantaran kapasitas produksi vaksin dunia saat ini hanya sekitar 8-10 juta dosis per minggu.

Andai Indonesia hanya diberi satu juta dosis per minggu, untuk mengimunisasi 150 juta warga butuh 300 minggu atau 6 tahun.

Selain membuat vaksin, Eijkman kini setiap hari menguji sekitar 150 sampel warga yang diduga terpapar virus corona. Hasilnya, kata Amin Soebandrio, rata-rata ada 10 sampel yang positif mengidap COVID-19.

Eijkman adalah lembaga penelitian biologi molekuler berstatus satuan kerja di bawah naungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

 

Situs resminya mencatat, nama lembaga ini diambil dari Christiaan Eijkman, peraih nobel kedokteran yang melakukan penelitian mengenai penyakit beri-beri di cikal-bakal lembaga ini pada awal dasawarsa 1900-an dan meletakkan dasar mengenai penemuan vitamin.

R1 Hee.