Cerita Bathi Mulyono, Preman Kelas Kakap Yang Lolos Dari Peluru Tajam Petrus

Ilustrasi (Foto: Istimewa/internet)
RIAU1.COM - Mobil Toyota Hardtop yang dikemudikan Bathi Mulyono di Jalan Kawi, Semarang ditembaki dari salah satu pria yang mengendarai sepeda motor tahun 1938. Dua peluru langsung menembus kendaraannya. Dia kaget lalu tancap gas. Si penembak kabur dalam kegelapan dinukil dari historia.id, Jumat, 31 Januari 2020.
Setelah kejadian itu, Bathi kemudian menghilang dan tak pulang ke rumah. Dia memutuskan untuk menyembunyikan dirinya dari kejaran operasi pembasmian preman atau Penembakan Misterius (Petrus).
Bathi lalu hidup nomaden dan bersembunyi di Gunung Lawu. Dia baru berani turun gunung pada 1985, setelah Petrus mereda.
Dia bukan preman sembarangan. Jabatannya saat itu sebagai ketua Yayasan Fajar Menyingsing, organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan pemuda di daerah Jawa Tengah.
Dalam kampanye Pemilu 1982. Dia sempat ditugaskan untuk memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Insiden itu dikenal sebagai peristiwa Lapangan Banteng. Sejumlah korban berjatuhan. Beberapa orang ditangkap atas tuduhan mengacau.
Nasibnya memang mujur tak seperti lainnya yang dituduh preman. Mereka mati tanpa proses peradilan. Diawali dengan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala berlubang ditembus peluru.
Dalam sehari hampir dapat dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan di semak-semak.
Setelah saling-silang pendapat di masyarakat dan tekanan dunia internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru menghentikan sama sekali operasi Petrus pada 1985.