Asuransi Jiwasraya Gagal Bayar Polis dan Salah Investasi, Kejagung Sebut Kerugian Negara Rp13,7 Triliun
Kantor Pusat Jiwasraya di Jakarta. Foto: Kumparan.com.
RIAU1.COM -PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dililit masalah gagal bayar polis dan salah penempatan investasi. Kejaksaan Agung bahkan menyebut potensi kerugian BUMN asuransi ini mencapai Rp13,7 triliun.
Dilansir dari Kumparan.com, Senin (13/1/2020), skandal yang membelit Jiwasraya ini sebenarnya terjadi sejak lama. Laporan keuangan perusahaan dilaporkan bermasalah sejak 2006 lalu.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, sebenarnya Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai auditor independen dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memperingatkan Jiwasraya bermasalah sejak lama. Justru, kasus Jiwasraya terbongkar salah satunya kemampuan PricewaterhouseCoopers (PwC) sebagai KAP mengungkap adanya potensi fraud yaitu tidak dicatatnya cadangan teknis Rp 7,7 triliun dalam audit mereka.
"Meskipun opini PwC tidak dipakai oleh direksi. Ini alarm pertama," katanya.
Alarm kedua adalah audit BPK yang di dalamnya dikerjakan oleh seorang akuntan juga. Tahun 2016, BPK lakukan audit terhadap Jiwasraya. Kata dia, jika otoritas seperti Kementerian BUMN membaca laporan audit BPK, sudah jelas harusnya kesalahan-kesalahan potensi fraud yang dibuat Jiwasraya itu dari yang paling kecil hingga paling besar dipaparkan.
Sebagai contoh, Jiwasraya kerap telat menagih sewa penggunaan aset. Salah satunya adalah sewa gedung di Cilandak Town Square (Citos), sebuah mal di Jakarta Selatan yang ternyata punya Jiwasraya.
"Citos itu saya baru tahu punya Jiwasraya. Ternyata kecil sekali biaya sewanya, kontribusinya ke Jiwasraya. Itupun sering telat nagih. Jadi secara intrinsik, di dalam manajemen Jiwasraya itu sudah ada potensi mereka abai dengan Good Corporate Governance (GCG). Belum praktik yang lain," jelasnya.
Selain itu, Yustinus pernah mendengar pengakuan rekannya yang membeli diperlakukan beda saat membeli polis di Jiwasraya. Kata dia, kalau membeli polis di sana, si nasabah diajak makan dan karaoke. Dari situ ada kecurigaan ada berarti ada margin yang cukup lebar dibagikan dan ini bagian dari modus Jiwasraya.
Modus lain yang pernah diungkap BPK, pada 2015 Jiwasraya pernah membeli medium term note satu perusahaan yang nilainya Rp 600 miliar. Kedua, Jiwasraya pernah menginvestasikan uang nasabah Rp6 triliun saat itu ke satu perusahaan yang menerbitkan reksa dana saham. Perusahaan tersebut adalah sebuah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
"Kenapa enggak terkontrol produk-produk tersebut? Apa yang terjadi? Perusahaan ini asetnya cuma Rp 300 miliar, omzet cuma Rp21 miliar, dia bisnisnya penangkaran ikan arwana, bisa terbitan reksa dana Rp6 triliun, dibeli oleh Jiwasraya. Dan saat 2015 itu portofolio Jiwasraya saat itu 90 persen berada pada saham reksa dana yang berisiko karena enggak masuk LQ 45. Jadi, ini sistemik dan sejak itu terjadi terus dan cari cara untuk melakukan fraud," ucapnya.
Terakhir, saat Jiwasraya keluar dari bisnis intinya yakni menerbitkan JS Saving Plan, produk bancassurance dengan imbal hasil yang tinggi, hingga di atas 10 persen. Karena tergoda bisnis imbal hasil besar, perusahaan tekor.
"Lalu 2016 maka dia cari instrumen yang seolah-olah bisa menunjukkan kinerja bagus lalu belilah investasi saham gorengan biar tercatat revenue besar. Jadilah skema ponzi yang terjadi, yakni nasabah awal dibayar return dan polisnya dari uang nasabah yang investasi belakangan (JS Saving Plan)," kata Yustinus.
Sebelumnya, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menyebut, kasus gagal bayar polis nasabah JS Saving Plan secara tidak langsung seperti skema ponzi alias gali lubang tutup lubang. Maksudnya, Hexana menegaskan kala itu perusahaan mungkin tak berniat menerapkan skema ponzi, tapi dalam perjalannya, tetap mengeluarkan produk tersebut meski beban pencairan polis sudah membebani keuangan perusahaan.
"Mungkin awalnya enggak berpikir seperti skema ponzi tapi kenyataanya (skema) ponzi," katanya.
JS Saving Plan pertama kali diterbitkan Jiwasraya pada 2014. Pertimbangannya dikeluarkan karena kebutuhan likuiditas perusahaan bertambah.
Perusahaan pun menawarkan JS Saving Plan dengan premi tinggi hingga Rp100 juta dan imbal hasil 7,75 persen hingga 14 persen. Sayangnya, dalam jualan tersebut, Jiwasraya hanya mampu membayar polis (kewajiban pokok dan bunga) ke nasabah hingga September 2018.
Per Oktober 2018, perusahaan menyatakan tak sanggup lagi membayar hingga kewajiban tersebut di-roll over sampai saat ini. Perusahaan pun tengah membuat skema pendanaan agar kewajiban polis nasabah, terutama nasabah pensiunan terbayarkan.
Skema ponzi pernah ramai dibicarakan dalam kasus bisnis First Travel. Metode gali lubang tutup lubang yang digunakan First Travel mempermainkan keinginan jemaah untuk bertandang ke tanah suci hanya untuk kepentingan mereka semata.
Skema Ponzi, sederhananya, adalah modus investasi palsu yang menyediakan keuntungan bagi investor dari uang investor gelombang selanjutnya.