LP2E Minta Pemindahan Ibu Kota Negara Dilakukan Saat Kondisi Ekonomi Negara Sedang Mapan

LP2E Minta Pemindahan Ibu Kota Negara Dilakukan Saat Kondisi Ekonomi Negara Sedang Mapan

25 Agustus 2019
Presiden Jokowi saat meninjau salah satu lokasi calon ibu kota negara di Gunung Mas. Foto: Biro Sekretariat Pers Presiden.

Presiden Jokowi saat meninjau salah satu lokasi calon ibu kota negara di Gunung Mas. Foto: Biro Sekretariat Pers Presiden.

RIAU1.COM -Rencana Presiden Jokowi terkait pemindahan ibu kota ke Kalimantan menuai pro kontra. Ada yang menilai kebijakan tersebut positif untuk mengurangi beban Jakarta, namun banyak juga yang meminta rencana tersebut dikaji lagi.

Dilansir dari Kumparan.com, Minggu (25/8/2019), Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP2E), Didik J Rachbini, menilai pemindahan ibu kota saat ini belum begitu mendesak dan perlu kajian mendalam sebelum direalisasikan.

"Menurut saya (pemindahan Ibu Kota) tidak boleh gagah-gagahan. Sekarang masalah kita lebih banyak," katanya.

Didik meminta pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk menyelesaikan masalah lain yang lebih mendesak, seperti isu Papua, peningkatan sumber daya manusia, dan antisipasi gejolak ekonomi global.

"Ketua DPR mengatakan belum terima studi naskah akademiknya. Kemendagri mengatakan studinya belum matang," ujar dia.

Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2019 di DPR, telah meminta izin parlemen untuk memindahkan ibu kota. Tidak meratanya ekonomi yang masih berpusat di Jawa menjadi salah satu alasan Jokowi untuk memindahkan ibu kota.

Jokowi mengatakan pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan dinilai akan mendorong pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus memacu pemerataan dan keadilan ekonomi di luar Jawa.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan, perkiraan modal yang dimiliki pemerintah untuk membangun ibu kota baru sekitar Rp 150 triliun.

Jumlah tersebut berdasarkan pemanfaatan aset-aset yang ada di Jakarta. Sementara kebutuhan total dana pemindahan ibu kota mencapai Rp 466 triliun, di mana swasta juga terlibat dalam pendanaan dan pengembangan.

Berdasarkan hasil riset tim Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pemindahan ibu kota dinilai tidak serta merta akan membuat ekonomi di luar Pulau Jawa lebih merata.

Dalam kesimpulan hasil riset Indef, pemindahan ibu kota ke Kalimantan memang akan meningkatkan jumlah output pada beberapa sektor non-tradable good, seperti sektor administrasi, pertahanan, pendidikan dan kesehatan, sektor kertas dan publikasi, tempat tinggal atau perumahan, rekreasi dan jasa pelayanan lain.

Loading...

Namun, kebijakan tersebut secara umum menstimulus turunnya jumlah output sektoral terjadi hampir di semua sektor atau industri baik di tingkat provinsi maupun nasional. Terutama sektor tradable-good dan berbasis sumber daya alam.

Penurunan jumlah output sektoral tersebut mendorong kelangkaan barang-barang berbasis sumberdaya akibatnya harga-harga komoditas meningkat secara umum (inflasi). Implikasinya kondisi tersebut menyebabkan penyerapan jumlah tenaga kerja secara umum di semua sektor turun.

Dilihat dari aspek regional, pemindahan ibu kota dinilai hanya menguntungkan propinsi tujuan dan belum tentu mengurangi ketimpangan di provinsi tujuan. Di sisi lain merugikan bagi provinsi lain karena konektivitas yang belum terbangun sehingga berpotensi besar menimbulkan high cost baru bagi daerah lain.

Sementara dari indikator makro ekonomi secara nasional, anggaran investasi untuk provinsi baru tidak mendorong pertumbuhan dalam indikator makroekonomi seperti konsumsi rumah tangga, investasi dan neraca pembayaran.

Meskipun untuk pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tingkat regional di Pulau Kalimantan secara umum berdampak positif, namun nilainya sangat kecil dan tidak signifikan.

Dampak pemindahan ibu kota juga dinilai tidak memberikan dorongan terhadap perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Meskipun terhadap PDRB riil regional lokasi pemindahan memberi dampak positif.

Selain itu, meskipun pemindahan ibukota melalui skema non-rightsizing, tetapi tetap menstimulus naiknya belanja pemerintah dengan memberikan sumbangan tertinggi hanya di lokasi tujuan dan provinsi-provinsi yang ada di Pulau Kalimantan.

Indef menilai pemerintah sebaiknya meninjau ulang rencana pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan. Sebab, pemindahan ibu kota negara saat ini belum menjadi prioritas karena tidak memberikan dampak dalam perbaikan pertumbuhan ekonomi.

"Pemindahan ibu kota negara sebaiknya dilakukan dalam kondisi perekonomian negara sedang mapan dan stabil, di mana produktivitas industri atau sektor tradable good berbasis sumberdaya sedang tumbuh baik dan secara signifikan mendorong nilai tambah dan muliflier effect yang tinggi baik level regional maupun nasional," kata salah seorang peneliti Indef, M. Rizal Taufikurahman.