Rancangan KUHP Dinilai Aliansi Nasional Reformasi Banyak Masalah

Rancangan KUHP Dinilai Aliansi Nasional Reformasi Banyak Masalah

5 Mei 2019
Massa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi RKUHP melakukan aksi tolak RUU KUHP di Silang Monas, Jakarta, 10 Maret 2018. Foto: Tempo.co.

Massa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi RKUHP melakukan aksi tolak RUU KUHP di Silang Monas, Jakarta, 10 Maret 2018. Foto: Tempo.co.

RIAU1.COM -Aliansi Nasional Reformasi RKUHP mendesak pemerintah agar tidak terburu-buru mengesahkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP). Karena, RKUHP masih memiliki banyak permasalahan.

Demikian dikatakan Maidina Rahmawati, anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP dilansir dari Tempo.co, Minggu (5/5/2019).

"RKUHP akan dibahas kembali pada 8 Mei 2019. Pembahasannya sempat tertunda sejak 3 Desember 2018 hingga selesainya Pemilu 2019," katanya.

Sepanjang pembahasan di DPR, pemerintah terus menyatakan bahwa mereka melakukan pembahasan intensif. Bahkan, pada 15 Desember 2018, Muladi, tim pemerintah dalam pembahasan RKUHP menyatakan pembahasan sudah selesai 95 persen.

Pasca pemilu, anggota Komisi Hukum DPR, Taufiqulhadi menyatakan pembahasan RKUP sudah selesai 99 persen.

"Berbagai klaim tersebut tidak sejalan dengan apa yang Aliansi Nasional Reformasi KUHP kawal selama ini," kata Maidina.

Dalam rapat terbuka RKUHP terakhir pada 30 Mei 2018, Maidina mengatakan pemerintah mempresentasikan pending issue dalam RKUHP yang hanya menjadi 9 poin. Padahal, permasalahan RKUHP jauh melebihi jumlah itu.

Sementara sampai dengan draft sidang terbuka versi 28 Mei 2018 dan draft internal pemerintah terakhir yang didapat 9 Juli 2018, aliansi mencatat sedikitnya ada 18 permasalahan yang belum terselesaikan dalam RKUHP.

Masalah yang pertama adalah pola penghitungan pidana diklaim tim pemerintah melalui metode tertentu, namun tidak pernah dijelaskan secara detil. Kemudian, masalah pengaturan hukum yang hidup di masyarakat yang akan memberikan ketidakpastian hukum. Lalu ada masalah pidana mati yang seharusnya dihapuskan, dan minimnya alternatif pemidanaan dengan syarat yang ketat.

Selanjutnya masalah pengaturan tindak pidana korporasi masih tumpang tindih antarpasal dalam RKUHP, masalah pengaturan makar yang masih tidak merujuk pada makna asli "serangan", masalah kriminalisasi promosi alat kontrasepsi yang bertentangan dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.

Masalah lainnya adalah kriminalisasi semua bentuk persetubuhan di luar perkawinan yang justru akan melanggengkan perkawinan anak. Masalah kriminalisasi aborsi belum disesuai dengan pengecualian dalam UU Kesehatan. Masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court yang membuat rumusan karet berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk pers.

Kemudian masalah pengaturan tindak pidana penghinaan yang masih memuat pidana penjara sebagai hukuman, masalah wacana kriminalisasi hubungan sesama jenis yang akan menimbulkan stigma terhadap orang dengan orientasi seksual berbeda.

Ada lagi soal pengaturan tindak pidana perkosaan yang mengalami kemunduran rumusan, masalah hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis.

Masalah berikutnya berupa rumusan tindak pidana penghinaan terhadap agama, yang justru tidak menjamin kepentingan hak asasi manusia untuk memeluk agama. Kemudian, masalah tindak pidana korupsi yang akan melahirkan duplikasi rumusan, dan masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat masih diatur tidak sesuai dengan standar HAM secara internasional.