
Ilustrasi/Hariankepri.com
RIAU1.COM - Jelang lebaran Idul Fitri 2025, harga santan di sejumlah daerah di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terutama di Kota Tanjungpinang masih tinggi.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) pun masih menunggu kebijakan Pemerintah Pusat, untuk menekan harga santan.
Disperindag Provinsi Kepri sendiri, mengklaim telah meminta Pemerintah Pusat untuk melakukan pembatasan ekspor kelapa bulat, yang merupakan bahan baku pembuatan santan. Saat ini, permintaan tersebut masih dalam tahap pembahasan.
“Tapi masih dalam pembahasan di tingkat Kementerian. Semoga dalam waktu dekat ini, ada kebijakan yang memproteksi (harga) santan kelapa, agar terkendali,” kata Kepala Disperindag Kepri, Aries Fhariandi, Selasa (18/3) yang dimuat Batampos.
Selain masalah ekspor, penyebab tingginya harga santan di Kepri disebut-sebut karena panen kelapa bulat yang terganggu. Kondisi terganggunya panen kelapa bulat tidak hanya terjadi di Kepri, melainkan juga terjadi di daerah lain seperti Riau dan Jambi.
Sehingga, jumlah produksi kelapa bulat pun menurun, hingga membuat harga santan ikut tidak terkendali. Terlebih lagi, permintaan kelapa bulat yang sangat tinggi, memang tidak sebanding dengan penyuplaian bahan baku santan tersebut.
“Ini terjadi di beberapa daerah di kuar Kepri, memang (produksi) sedang mengalami penurunan. Permintaan tinggi, kelapa berkurang suplainya,” tambahnya.
Untuk di Tanjungpinang, harga santan kian meroket dari yang sebelumnya Rp20 ribu per kilogram, kini telah menyentuh ke angka Rp40 ribu. Tingginya harga santan di Pinang sudah terjadi sejak beberapa pekan jelang bulan Ramadan 2025.
“Kan awalnya Rp20 ribu, naik menjadi Rp35 ribu. Sekarang Rp40 ribu per kilogram, mulai naik Rp40 ribu ini sejak seminggu jelang puasa,” kata Bambang, pemilik kios santan di Jalan Kuantan.
Menaikan harga santan dipicu oleh faktor ekspor kelapa bulat, hingga tingginya harga kelapa tua tersebut. Saat ini, per biji kelapa bulat dijual dengan harga Rp8 ribu hingga Rp9 ribu per biji.
“Kalau dari kita ya faktor ekspor. Kalau tidak ikut persaingan harga, kita tidak dapat barang (kelapa). Kalau dulukan harga kelapa tidak sampai Rp5 ribu,” pungkasnya.*