Singapura Pertimbangkan Hukuman Cambuk untuk Pelaku Penipuan

5 Maret 2025
Ilustrasi/Net

Ilustrasi/Net

RIAU1.COM - Singapura tengah mempertimbangkan penerapan hukuman cambuk bagi para pelaku penipuan.

"Kami akan mempertimbangkan [hukuman] cambuk untuk diterapkan pada pelanggaran terkait penipuan tertentu, dengan menyadari bahaya serius yang dapat ditimbulkannya," kata Menteri Negara Dalam Negeri sekaligus Pembangunan Sosial dan Keluarga, Sun Xueling, pada Selasa (4/3), seperti dikutip CNNIndonesia dari AFP.

Langkah ini dilakukan di saat Singapura sedang gencar memberantas sindikat penipuan usai mencatat rekor kerugian hingga 1,1 miliar dolar Singapura (sekitar Rp13 triliun).

Menurut Sun, meskipun industri perbankan sudah menerapkan berbagai tindakan perlindungan, pada faktanya scammer atau penipu lebih unggul.

"Mereka mulai meminta para korban untuk menukarkan uang mereka ke dalam mata uang kripto sebelum melakukan transfer, sehingga terhindar dari upaya perlindungan perbankan kami," ucapnya.

Kasus penipuan yang terkait kripto sendiri menyumbang hampir 25 persen dari seluruh kerugian akibat penipuan.

Seiring dengan ini, Sun menyarankan warga Singapura "menghindari cryptocurrency."

Kasus-kasus penipuan semacam ini disebut banyak terjadi di platform Telegram, yang memberikan anonimitas kepada pengguna. Jumlah penipuan di Telegram tercatat naik hampir dua kali lipat pada 2024.

Selain mempertimbangkan hukuman cambuk, Sun juga mendesak Telegram untuk mengadopsi langkah-langkah verifikasi yang lebih kuat guna memberikan perlindungan bagi penggunanya. Bersamaan dengan itu, ia mengatakan pemerintah sedang menggodok aturan "untuk memastikan kepatuhan."

Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Singapura telah mengintensifkan upaya edukasi publik terhadap penipuan, termasuk dengan mendirikan saluran telepon darurat penipuan nasional.

Pada 2020, pemerintah memperkenalkan aplikasi "ScamShield" yang memungkinkan pengguna memeriksa panggilan, situs web, hingga pesan yang mencurigakan.

Tahun lalu, eks Perdana Menteri Lee Hsien Loong sempat mengatakan kepada media lokal bahwa ia ditipu karena barang yang ia pesan secara daring tidak pernah sampai. Kasus ini pun menyoroti bagaimana masalah tersebut memengaruhi semua sektor masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir, pusat-pusat penipuan siber, yang memikat orang asing untuk bekerja di tempat-tempat penipuan dengan menipu lewat hubungan asmara serta investasi kripto, menjamur di seluruh Asia Tenggara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan para korban mencapai 120.000 orang, dengan mayoritas warga China. Mereka bekerja di banyak tempat penipuan di Myanmar.

Bulan lalu, ratusan warga China dipulangkan dari Myanmar melalui Thailand dalam operasi gabungan pemerintah Asia Tenggara.

Ribuan orang lainnya saat ini masih terlunta-lunta di kamp-kamp di perbatasan Thailand-Myanmar, menunggu waktu kepulangan setelah diselamatkan dari pusat-pusat penipuan Myawaddy.*