
Kawasan terdampak gempa di Myanmar
RIAU1.COM - Korban gempa Myanmar terus bertambah, mencapai 1.700 jiwa pada Senin (31/3/2025), sementara tim penyelamat dan bantuan internasional berusaha menembus daerah terdampak.
Rumah sakit kewalahan menangani korban luka, sementara warga yang selamat terpaksa melakukan penyelamatan sendiri dengan peralatan seadanya.
Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada Jumat (29/3/2025), menjadi salah satu yang terkuat dalam satu abad terakhir. Hingga Minggu, junta militer melaporkan 1.700 orang tewas, 3.400 lainnya luka-luka, dan lebih dari 300 masih hilang. Pemimpin junta, Senior Jenderal Min Aung Hlaing, memperingatkan bahwa jumlah korban gempa Myanmar kemungkinan akan terus bertambah.
Negara-negara seperti India, China, dan Thailand telah mengirimkan bantuan, bergabung dengan Malaysia, Singapura, dan Rusia. Namun, banyak warga di Mandalay dan Sagaing melaporkan bahwa mereka belum menerima bantuan apa pun, sementara krisis pangan, air, dan listrik semakin memburuk.
"Kerusakan sangat luas, dan kebutuhan kemanusiaan semakin mendesak setiap jamnya," kata Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dalam pernyataannya dikutip Beritasatu dari Korea Times.
Gempa ini semakin memperburuk kondisi Myanmar yang sudah terjebak dalam perang saudara sejak kudeta militer 2021. Infrastruktur penting seperti jembatan, jalan raya, dan bandara rusak parah, menghambat upaya penyelamatan.
Laporan dari US Geological Survey memperkirakan korban gempa Myanmar bisa melebihi 10.000 jiwa, dengan kerugian material yang sangat besar. Sementara itu, militer Myanmar menolak kehadiran jurnalis internasional untuk meliput langsung dengan alasan minimnya fasilitas di daerah terdampak.
Di Mandalay dan Sagaing, rumah sakit tidak mampu menampung lonjakan korban luka. Banyak bangunan runtuh, membuat pasien harus dirawat di luar ruangan.
Seorang biksu di Mandalay, Ashin Pawara, mengungkapkan bahwa banyak warga harus tidur di jalan karena bangunan tak lagi aman. "Saya belum melihat ada bantuan internasional datang, hanya relawan lokal yang membagikan makanan dan air," katanya.
Sementara itu, seorang warga Sagaing bernama Han Zin melaporkan bahwa kotanya kehabisan pasokan air dan listrik. "Kami belum menerima bantuan apa pun, dan tidak ada tim penyelamat di sini," ujarnya.
Gambar satelit menunjukkan bahwa jembatan utama yang menghubungkan Sagaing dan Mandalay telah runtuh ke Sungai Irrawaddy, semakin menyulitkan akses bantuan.
Kelompok oposisi National Unity Government (NUG) mengumumkan bahwa pasukan perlawanan anti-junta akan menghentikan serangan militer selama dua minggu untuk memungkinkan operasi kemanusiaan berjalan.
Di Mandalay, banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan, sementara tim penyelamat hanya bisa menggunakan peralatan seadanya.
"Kami hanya bisa mengandalkan tangan kosong, tali, dan peralatan sederhana untuk mencari korban," ujar seorang relawan yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, di Bangkok, Thailand, yang juga terdampak gempa, upaya penyelamatan terus dilakukan di gedung 33 lantai yang runtuh. Tim penyelamat berpacu dengan waktu menggunakan drone dan anjing pelacak untuk menemukan korban selamat.
Seorang petugas kepolisian Thailand, Teerasak Thongmo, mengatakan bahwa penyelamatan dalam 72 jam pertama sangat penting. "Kami harus bergerak cepat menyelamatkan mereka yang masih hidup," katanya.*