Walhi Menang Gugat Gubernur Aceh Soal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk PLTA

4 September 2019
Ilustrasi sebuah jaringan pembangkit listrik.

Ilustrasi sebuah jaringan pembangkit listrik.

RIAU1.COM - Walhi Aceh menang gugatan terhadap Gubernur Aceh soal izin pinjam pakai kawasan hutan untuk proyek PLTA. 

Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Banda Aceh yang mengabulkan gugatan Wahana Lingkungan Hidup terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan menjadi peringatan bagi perusahaan lain dalam mengelola kelestarian alam di wilayah tersebut. 

Seperti dilansir bisnis.com, Rabu, 4 September 2019, Dalam putusannya, Majelis Hakim menetapkan bahwa Gubernur Aceh telah melampaui kewenangan dalam menerbitkan izin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-1 di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Keputusan itu diambil pada Rabu, (28/8/2019).

“Keputusan ini menjadi peringatan keras bagi rencana pembangunan proyek lain yang didasarkan atas perizinan yang bermasalah dan mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]," kata Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh, dalam keterangan resmi, Selasa (3/9).

 

Dia menjelaskan bahwa pembangunan PLTA Tampur-1 banyak ditentang karena Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang sedang non-aktif karena menghadapi proses hukum di KPK, melanggar aturan perizinan dan melampaui kewenangan. 

"Selain itu PT. Kamirzu selaku pemegang izin juga terbukti tidak memenuhi kewajiban atas ketentuan-ketentuan dalam izin ini," tambahnya. 

Padahal, Pemprov Aceh telah meluncurkan beberapa proyek pembangkit listrik, seperti PLTA Peusangan berkapasitas 84 MW, Unit Pembangkit Listrik Nagan Raya 3 dan 4 berkapasitas 200 MW, PLTG di Krueng Raya berkapasitas 50 MW, dan PLTB Jaboi di Sabang berkapasitas 15 MW.

“Jika semua proyek ini berhasil, maka Aceh akan memiliki kelebihan energi. Saya heran kenapa pemerintah Aceh masih memaksakan membangun PLTA dengan menenggelamkan ribuan hektar hutan lindung dan satu desa," ujarnya. 

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengungkapkan, putusan PTUN Banda Aceh menunjukkan adanya permasalahan dalam regulasi usaha di daerah. Kondisi ini berimplikasi pada keberlanjutan daya dukung lingkungan untuk kepentingan bisnis kelistrikan.

"Jika tidak segera ada pembenahan menyeluruh, perizinan usaha akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik korupsi politik di daerah," ujarnya. 

 

Sementara itu, Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh Farwiza Farhan, yang juga menjadi bagian dari tim legal, menyambut keputusan ini sebagai sebuah preseden untuk proyek-proyek lain yang mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser. 

R1/Hee