Saksi Ahli Paparkan Arti Surat Palsu dalam Sidang Dugaan Pemalsuan SK Menhut

25 Mei 2019
Sidang dugaan pemalsuan SK Menhut di PN Siak

Sidang dugaan pemalsuan SK Menhut di PN Siak

RIAU1.COM -Sidang perkara pemalsuan SK Menhut RI nomor 17/Kpts.II/1998 dengan terdakwa Direktur PT DSI Suratno Konadi dan Eks Kadishutbun Siak Teten Efendi ini bakal kembali digelar 18 Juni mendatang di PN Siak, Provinsi Riau, dengan materi pembacaan tuntutan.

Sidang ini sudah berjalan sejak 23 April 2019 lalu. Terakhir pada Kamis 23 Mei 2019 kemarin, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. Pada sidang tersebut, terdakwa Suratno Konadi dan Teten Efendi didampingi penasehat hukum Yusril Sabri.

Pada sidang terakhir Kamis kemarin dihadirkan dua saksi ahli. Pertama Dosen Fakultas Hukum Unand Feri Amsari, yang memaparkan tentang tahun keluarnya SK Menhut yang dinilainya saat itu negara tengah Force Majeur (keadaan darurat), dan Siak memasuki masa transisi menuju sebuah kabupaten baru. 

Sedangkan saksi ahli kedua adalah pakar hukum yang juga Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta Prof Mudzakir. Ia memaparkan tentang arti sebuah surat palsu. Sesuai materi dakwaan jaksa dalam perkara tersebut.

"Kalau yang dilampirkan utuh, dan tidak ada kepalsuan didalamnya, itu tidak bisa disebut palsu. Dengan alasan apapun dia tidak bisa dikatakan tindak pidana membuat surat palsu," kata Prof Mudzakir mengawali keterangan.

Menurut dia, mengenai surat palsu jika ada yang beranggapan tidak benar dan dinilai palsu. Menurutnya setiap bidang hukum memiliki paramater perbuatan melawan hukum. Sehingga tidak bisa di take over antara pidana dan perdata.

"Suatu dokumen surat yang isinya tidak benar, jadi tidak benar dengan palsu itu dua makhluk berbeda. Tidak benar itu bisa makna salah dan keliru. Palsu diawali dengan itikad buruk dan kriminal, yang dibuat mempunyai tujuan. Andaikata mengutip tidak benar itu salah, kalau salah ya diralat," jelasnya.

Ia melanjutkan, kalau palsu dalam konteks pidana dan diikuti itikad jahat dan melawan administrasi. Memang kata Mudzakir, yang diniatkan membuat surat palsu, dalam hubungan yang ditanyakan penasehat hukum (PH) terdakwa atas perkara yang dijalani, menurutnya bagaimana suatu surat perihal jangka waktunya masih Debatable.

"Ada yang menilai surat tersebut sudah mati (pelapor, red), yang mengurus (terdakwa, red) menyebut belum mati. Jadi masih ada beda pandangan? Itu seperti apa?," ujar PH melontarkan pertanyaan.

Menurut Mudzakir, jika ada surat yang batal dengan sendirinya, memang harusnya dicabut dan dikeluarkan produk hukum selevel oleh pembuat. "Kalau belum dicabut maka tidak bisa disebut batal dengan sendirinya. Jadi soal palsu adalah yang diada-adakan, memalsukan surat yang ada separuh atau keseluruhan, atau kontennya dipalsukan, itu namanya surat palsu," katanya.

Kemudian pihak JPU yang mencecar ahli dengan pertanyaan. Dakwaan perihal pemalsuan SK di mana kata Jaksa, ada SK 1998 yang dikeluarkan Kemenhut, ditindaklanjuti dengan diurus beberapa surat oleh PT DSI yang kemudian menguasai ribuan hektar lahan sebagai izin lokasi pengelolaan.

Menurut Mudzakir, memang harus dipastikan apakah ada yang dirugikan atau tidak. Dengan demikian itu baru bisa masuk ranah hukum pidana. Sementara jika masih tendensius, dirasa merugikan, maka harus ada pasti dokumen yang disebut palsu itu.

"Interpretasi atau tendensi yang muncul itu belum bisa. Sistem hukum saja sudah berubah, kata-kata dapat dan berpotensi pun harus benar. Artinya benar-benar terjadi kerugian akibat itu. Jadi kalau ada surat palsu harus benar-benar ada kerugian," yakin dia.

Jaksa pun kemudian menyampaikan pertanyaan, di mana dikayakan bahwa ada dua kali pengajuan dan ditolak kemudian pengajuan ketiga diproses. :Apakah ada unsur kesengajaan disini?," tanya Jaksa Syahril.

Menurut Mudzakir, masing-masing menolak dan menerima karena ada argumen. Sehingga kalau masuk langsung ke ranah pidana sangatlah tidak tepat. Dimana pejabat yang memberi kewenangan atas surat dimaksud ada dua  memeriksa dan mengecek surat-surat tersebut.

"Kalau dicek dan memenuhi syarat maka dilanjutkan. Memang harus ditanya ke penerbit surat, dan apabila surat tersebut masih berlaku artinya tidak ada persoalan keluar izin. Dalam hukum, kalau filenya on maka itu berlaku, kalau off namun terbit, itu penerbitnya bermasalah. Ini domainnya masih dalam wilayah hukum administrasi, dan selesaikanlah sesuai itu," pesannya.

Dengan demikian menurut Prof Mudzakir atas SK Menteri Kehutanan Nomor 17/Kpts.II/1998 tanggal 6 Januari 1998 tersebut tidak palsu. Hal ini dikarenakan institusi yang mengeluarkan mengatakan SK tersebut masih berlaku dan asli dan tidak ada dilakukan perubahan. Dengan demikian maka tidak ada memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 263 dan 264 KUHP.