Produksi Coklat Indonesia Terus Menyusut Karena Petani Beralih ke Tanaman Sawit dan Karet

16 Juli 2018
Ilustrasi

Ilustrasi

Riau1.com - Petani coklat di Asia memiliki masalah dengan produksi cokelat. Produksi coklat di Indonesia telah menyusut selama tiga tahun berturut-turut karena petani memilih untuk beralih ke tanaman lain dan konsumsi coklat tahunan hanya 11 ons (300 gram), menurut Euromonitor International.

Itu mungkin saja akan berubah, berkat minuman cokelat Milo atau Es Kepal Milo, salah satu camilan favorit di Indonesia.

Kegemaran penduduk Indonesia akan Es Kepal Milo - campuran Milo yang dituangkan ke es yang dihancurkan untuk dibuat semacam kerucut salju kecoklatan - telah melahirkan lebih dari 17.000 video cara membuat dengan jutaan hits di YouTube.

Hal ini menciptakan kerajaan ritel baru untuk wirausaha seperti Emanuel Agung, 34 tahun, pemilik Es Kepal Milo Viral. Permintaan akan Es Kepal Milo, telah membantu penjualan untuk produk Nestle, dan itu mungkin mengangkat penjualan cokelat secara keseluruhan di Indonesia dan menaikkan penjualan PT. Mayora Indah, perusahaan makanan terbesar kedua di negara Indonesia, yang membuat cokelat Choki Choki, serta PT Kaldu Sari Nabati Indonesia, yang membuat wafer Richoco.

“Permintaan sangat tinggi,” kata Agung, yang membeli 1 ton Milo sehari untuk memasok 150 kios Es Kepal Milo miliknya. "Nestle kewalahan dengan pesanan kami dalam beberapa minggu pertama penjualan, tetapi sekarang pasokan sudah stabil."

Agung, yang belajar cara membuat suguhan dingin di Malaysia, membuka gerai pertamanya di Jakarta pada bulan Maret 2018 dan waralaba tersebut sekarang ada di beberapa kota, dan mampu menjual sekitar 30.000 cangkir sehari.

Itu bagus untuk Nestle, yang berbasis di kota Swiss Vevey, yang juga baru-baru ini mulai menjual es krim beku seperti Kit Kat, Crunch, dan Milo di Indonesia. Swiss memiliki banyak hal untuk mengajarkan Indonesia tentang cokelat - karena perusahaan tersebut memimpin dunia dalam konsumsi per kapita sekitar 10 kilogram per tahun.

“Kami senang mengetahui bahwa orang-orang Indonesia telah menemukan cara-cara kreatif dalam membuat resep terbaru menggunakan produk kami,” Debora Tjandrakusuma, direktur urusan hukum dan perusahaan Nestle di Indonesia mengatakan dalam sebuah email. Nestle mencatat bahwa dari sebagian besar kakao yang didapatnya dari Indonesia yang masuk ke pasar internasionalnya, ia berhasil menjual beberapa produk yang terbuat dari cokelat lokal.

Tantangan bagi para petani adalah mengubah permintaan cokelat menjadi permintaan kokoa. Produksi kakao Indonesia turun menjadi 275.000 ton pada tahun ini dari 290.000 ton pada 2017,  karena pohon yang menua dan sebagai petani beralih ke tanaman yang lebih menguntungkan seperti kelapa sawit, menurut Asosiasi Kakao Indonesia pada bulan Februari.  

Sementara konsumsi per kapita masih rendah, permintaan untuk penganan coklat tumbuh sebesar 10 persen pada tahun 2017, berkat distribusi yang luas, strategi pemasaran dan promosi yang agresif, menurut Euromonitor. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, di mana pasar coklat bernilai sekitar USD 1 miliar dalam penjualan tahun lalu, keterjangkauan masih sangat penting bagi banyak rumah tangga ketika membeli produk-produk indulgensi.

Jutaan orang Indonesia bertahan hidup dengan kurang dari USD 2 per hari dan makanan ringan tradisional seperti pisang goreng dan kue kelapa-susu.

Cokelat dianggap sebagai makanan mewah, menurut Sony Satari, ketua Asosiasi Industri Coklat dan Kakao Indonesia. Orang Indonesia lebih suka coklat yang lebih murah yang mengandung minyak sayur daripada varietas yang lebih mahal yang terbuat dari mentega coklat, katanya. “Membayar 25.000 rupiah (sekitar USD 1,70) untuk cokelat mahal bagi banyak orang Indonesia,” kata Satari.

Untuk Es Kepal Agung, yang memiliki lebih dari tiga tahun pengalaman dalam bisnis kuliner, makanan dan merek berkualitas baik adalah faktor utama untuk memikat pembeli, bukan harganya. Dia mengatakan dia menjual Es Kepal Milo sebanyak 20.000 rupiah per cangkir terutama untuk generasi millennial berusia antara 14 hingga 26.

"Milo memiliki citra merek yang kuat, jadi selama kami menjaga kualitas, hanya menggunakan Milo murni, maka pelanggan akan menerimanya," kata Agung. “Ini diluar dugaan saya. Orang-orang dari kelas rendah ke menengah dan kelas atas berbaris di gerai saya. ”

 

 

R1/PAR