Akuisisi Freeport Terancam Isu Lingkungan Hasil Temuan BPK Senilai Rp 185 Triliun

21 Oktober 2018
Lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Papua.

Lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Papua.

RIAU1.COM - Pemerintah Indonesia tinggal selangkah lagi untuk kuasai dan membeli 51% saham PT Freeport Indonesia. 

Indonesia  kini tinggal bayar uang divestasi yang dibutuhkan untuk resmi kuasai tambang emas terbesar di Papua itu. 

Seperti dikutip Riau1.com dari CNBC Indonesia, Minggu 21 Oktober 2018, Setidaknya 8 bank asing sudah setuju untuk beri pinjaman ke RI agar bisa kuasai Freeport, nilainya sebesar US$ 3,85 miliar atau setara Rp 56 triliun.

Untuk pinjaman puluhan triliun ini, bank asing sukarela meminjamkan dana ke PT Inalum (Persero), selaku holding BUMN Pertambangan, tanpa perlu jaminan apapun. 

"Tidak ada yang dijadikan jaminan. Kenapa? Karena pemberi pinjaman tahu kalau tambang PT Freeport masih menguntungkan, dan selama ini Freeport tidak punya utang," ujar Kepala Komunikasi Korporat Inalum Rendi Witular kepada media ketika dijumpai di Jakarta, Kamis (18/10/2018).

Tetapi, masih ada risiko sindikasi bank asing ini menunda pencairan pinjamannya, yakni jika PT Freeport Indonesia belum selesaikan masalah lingkungannya. 

Soal masalah lingkungan ini, Inalum dan Freeport juga dicecar pertanyaan oleh Komisi VII DPR RI saat gelar rapat dengar pendapat 17 Oktober lalu. Hal ini terkait temuan dari BPK yang mengatakan ada potensi kerusakan lingkungan sebesar Rp 185 triliun.

DPR juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan ini, dan apakah dalam kesepakatan-kesepakatan tersebut juga membahas secara spesifik terkait masalah lingkungan. 

Sementara itu Sejak isu itu bergulir, pihak-pihak yang terkait dengan divestasi PT Freeport Indonesia termasuk PT Inalum masih terus membahasnya. 

"Berdasar dokumen BPK yang saya baca, di dokumen angka Rp 185 triliun ini tidak ada penyebutan kerugian negara atau denda yang harus dibayarkan. Tidak ada kata spesifik itu, Rp 185 triliun itu adalah hitungan akan jasa potensi ekosistem yang hilang," jelas Kepala Komunikasi Korporat Inalum Rendi Witular, saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat lalu .

Jasa potensi ekosistem yang hilang dicontohkan misalnya seperti membangun MRT, maka harus ada pohon yang ditebang maka hal ini yang disebut potensi jasa yang hilang.

Kedua, lanjutnya, angka Rp 185 triliun ini tidak dimasukkan dalam kesimpulan hasil pemeriksaan BPK. 

"Ketiga, di dokumen BPK angka Rp 185 triliun ini Menteri KLHK disarankan untuk klarifikasi apakah angka itu wajar atau sudah sesuai dengan peraturan yang ada," kata Rendi.

Masih ditunggu klarifikasi dan saran Menteri KLHK soal isu lingkungan hasil temuan BPK senilai Rp 185 triliun itu. 

R1/Hee