Pemerintah Akan Naikkan Iuran BPJS Kesehatan dan Membagi Kewenangannya kepada Pemda

30 Juli 2019
Ilustrasi pasien di rumah sakit.

Ilustrasi pasien di rumah sakit.

RIAU1.COM - BPJS Kesehatan sedang defisit Triliunan Rupiah. Solusinya, Pemerintah akan menaikkan iuran dan membagi kewenangannya kepada masing-masing Pemerintah Daerah. 

Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu diputuskan dalam rapat yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dihadiri sejumlah menteri terkait dan Direktur Utama BPJS Kesehatan kemarin Senin, (29/7/2019) diputuskan pemerintah akan melakukan sejumlah langkah besar untuk menyehatkan badan kesehatan publik ini.

“Kalau kita tidak perbaiki BPJS [Kesehatan] ini,  seluruh sistem kesehatan kita runtuh, rumah sakit tidak terbayar,  bisa tutup rumah sakitnya. Dokter tidak terbayar, pabrik obat tidak terbayar, " kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Selasa (30/7/2019), seperti dilansir bisnis.com. 

 

Untuk membenahi permasalahan ini, kata JK, rapat secara prinsip menyepakati dilakukan kenaikan iuran. Meski begitu besaran iuran belum diputuskan karena menunggu kajian dari tingkat menteri.

“Kita setuju untuk menaikkan iuran. Tapi berapa naiknya, nanti dibahas oleh tim teknis, nanti akan dilaporkan pada rapat berikutnya,” kata Jusuf Kalla.

Lebih lanjut disebutkan, rapat juga menegaskan adanya perbaikan manajemen di BPJS Kesehatan. Terutama terkait dengan kontrol kepatuhan pembayaran dan pembayaran yang harus dijalankan oleh badan.

Rapat juga menyepakati dilakukan pembagian wewenang BPJS Kesehatan. Jika saat ini BPJS Kesehatan terpusat di Jakara, ke depan akan dibagi kewenangannya kepada masing-masing pemerintah daerah.

“Bahwa sama dengan pemerintah, tidak mungkin suatu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih anggotanya. Harus didaerahkan. Di desentralisasi. Supaya rentang kendalinya [dekat],” katanya.

Dengan mendekatkan BPJS di bawah pemerintah daerah ini, Jusuf Kalla meyakini kecurangan yang terjadi di badan publik ini dapat teratasi.

“Supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS [Kesehtan] bisa dibina, diawasi oleh Gubernur Bupati setempat. Sehingga sistemnya lebih dekat. Orang lebih mudah [dan dapat] melayani masyarakat [lebih cepat],” katanya.

Jusuf Kalla menyebutkan kekhawatiran pengendalian dengan desentralisasi ini harus diselesaikan. Pasalnya dengan pola sentralisasi saat ini badan kesehatan publik ini terus mengalami defsit berkepanjangan. Bahkan dalam beberapa tahun ke depan menjadi lebih besar.

“Tahun ini kurang lebih Rp29 triliun. Kalau begini terus, tahun depan diperkirakan bisa Rp40 triliun. Tahun depannya lagi bisa Rp100 triliun. Jadi sistemnya harus diubah,” katanya.

Meski defisit terus membesar, Jusuf Kalla memastikan pemerintah akan menyelesaikan permasalahan defisit ini.

“Pemerintah harus menyelesaikan  [defisit dengan] membayar [tunggakan].  Tidak mungkin tidak karena ini program pemerintah,” katanya.

 

Berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp19,41 triliun. Lalu, pemerintah menyuntikkan bantuan keuangan senilai Rp10,29 triliun sehingga posisi gagal bayar menyusut menjadi Rp9,1 triliun.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris di Istana Kepresidenan, Senin (29/7/2019) menyebutkan, rapat internal bersama sejumlah menteri terkait dan Presiden Joko Widodo tersebut hanya membicarakan mengenai jaminan pemerintah yang akan tetap menjalankan pelayanan kesehatan di tengah kondisi gagal bayar BPJS Kesehatan.

"Dari sisi pelayanan seperti apa yang bisa kita carikan jalan keluarnya. Intinya ini diselesaikan, sementara itu kita punya mekanisme di supply chain financing, yang rumah sakit akan menjaga cash flow-nya," tekannya.

R1/Hee