Defisit Neraca Perdagangan 2,5 Miliar Dolar AS, Tertinggi Sepanjang Sejarah, Ini Dampaknya

Defisit Neraca Perdagangan 2,5 Miliar Dolar AS, Tertinggi Sepanjang Sejarah, Ini Dampaknya

15 Mei 2019
Ilustrasi petugas membongkar beras impor dari luar negeri di sebuah pelabuhan.

Ilustrasi petugas membongkar beras impor dari luar negeri di sebuah pelabuhan.

RIAU1.COM - Semakin mengkhawatirkan. Defisit neraca perdagangan Indonesia periode April 2019 tercatat sebesar US$ 2,5 miliar, atau merupakan yang paling tinggi  sepanjang sejarah Indonesia. 

Lantas kenapa? Apa dampaknya untuk kita sebagai rakyat Indonesia?

Seperti dilansir CNBC Indonesia, Rabu, 15 Mei 2019, Neraca perdagangan barang memiliki hubungan yang erat dengan neraca transaksi berjalan (current account).

Transaksi berjalan sendiri merupakan gambaran arus uang yang keluar masuk melalui sektor-sektor riil. Sementara transaksi di sektor riil ini lebih bertahan lama, tidak mudah keluar dan masuk dengan cepat.

Berbeda dengan sektor keuangan, seperti saham, di mana investor bisa dalam satu kedipan mata menarik modal dari Indonesia.
 

Apalagi jika jumlahnya sangat besar, artinya banyak sekali uang yang berhamburan ke luar negeri.

Gampangnya, saat neraca transaksi berjalan mengalami defisit (current account deficit/CAD), ada lebih banyak uang yang keluar dari Indonesia ketimbang yang masuk.


Maka dari itu, transaksi berjalan menjadi fondasi yang sangat penting bagi stabilitas nilai tukar mata uang. Dalam hal ini rupiah. Bila rupiah kekurangan pasokan modal di dalam negeri, maka akan sulit untuk menahan tekanan mata uang lain.

Masalahnya sejak akhir tahun 2011, Indonesia sudah mulai menikmati yang namanya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Sejak saat itu pula rupiah cenderung melemah hingga saat ini.

Pada awal 2011, kurs rupiah masih berada di sekitar Rp 9.000/US$, sedangkan pada akhir perdagangan hari Rabu (15/5/2019) sudah sebesar Rp 14.455. Artinya sudah melemah hingga 60,6%.

Selain itu, sejak CAD mulai menghantui, Bank Indonesia (yang sejatinya adalah lembaga yang mengatur kebijakan moneter) mulai turun tangan untuk mengendalikan CAD karena dampaknya yang besar pada stabilitas rupiah. Padahal pada hakikatnya, CAD adalah fenomena sektor riil.

Sebagai pengambil kebijakan moneter, instrumen yang bisa BI lakukan untuk mengusir CAD adalah menaikkan suku bunga acuan. Karena bila suku bunga meningkat, maka aktivitas ekonomi bisa diperlambat. Harapannya impor barang bisa turun dan mengurangi beban pada transaksi berjalan.

Nah, saat neraca perdagangan defisit, apalagi sangat parah, maka transaksi berjalan akan semakin terbebani. CAD yang sudah sangat dalam bukan tidak mungkin terus mengarah ke bawah.

Sebagai informasi, pada tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit tahunan yang paling dalam sepanjang sejarah NKRI, yaitu sebesar US$ 8,7 miliar.

Pada tahun yang sama, CAD juga tercatat sebesar US$ 31,05 miliar, atau setara 2,98% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Itu juga merupakan yang paling parah sejak tahun 2014.
 

Sementara itu Terbaru, CAD kuartal I-2019 sudah sebesar US$ 6,9 miliar atau setara 2,6% PDB, lebih dalam ketimbang kuartal I-2018 yang hanya 2,01% PDB.

Bila tahun ini CAD tidak bisa dikerdilkan, atau bahkan melebar, maka rupiah akan semakin rentan terhadap gejolak ekonomi global. Pelemahan rupiah menjadi semakin sulit untuk dihindari. 

Loading...

 

Alhasil menjadi sulit untuk membayangkan BI menurunkan suku bunga acuan. Alih-alih turun, potensi naik malah membesar.

Saat suku bunga acuan BI sedang tinggi, maka dampak yang paling terasa ke masyarakat awam adalah bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang relatif tinggi.

Yah, kecuali mau terus berharap Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed menurunkan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR). Apa iya mau menggantungkan nasib kepada bangsa lain. Mikir. 

R1/Hee