Darurat Bencana Bukan Darurat Sipil

Darurat Bencana Bukan Darurat Sipil

1 April 2020
jokowi/dok

jokowi/dok

RIAU1.COM -Pernyataan Presiden Joko Widodo perihal pembatasan sosial berskala besar dengan penerapan darurat sipil memunculkan kebingungan baru. Keterangan itu disampaikan dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 lewat konferensi video jarak jauh dari Istana Bogor, Jawa Barat, kemarin. Dalam pertemuan tersebut, dia menyebutkan agar pembatasan sosial dilakukan lebih berdisiplin, lebih tegas, dan lebih efektif sehingga perlu disertai darurat sipil.

Kebingungan menyeruak karena Pasal 59 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Padahal, sampai saat ini, Presiden belum pernah menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat seperti diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut.

Aturan mengenai darurat sipil termaktub dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Menetapkan Keadaan Bahaya. Penggunaan darurat sipil dipandang berlebihan karena pandemi virus corona 2019 (Covid-19) ini merupakan bencana penyakit, bukan ancaman yang berbentuk pemberontakan, kerusuhan, ataupun bencana alam.

Ketidakjelasan payung hukum atas kebijakan pembatasan sosial berskala besar ini merupakan bukti bahwa pemerintah tidak mematuhi prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya, Presiden terlebih dulu menetapkan status darurat bencana nasional. Tak ada kata terlambat, Presiden tetap dapat menerbitkan keputusan presiden tentang darurat bencana itu-sesuatu yang telah disarankan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Keputusan Presiden tentang darurat bencana tersebut harus mengatur juga dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan terhadap masyarakat dari pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar. Pemerintah harus menjamin kebutuhan pokok, kesehatan fisik, dan mental masyarakat. Dalam aturan itu, aspek kesehatan jiwa dianggap penting karena orang yang depresi, takut, dan cemas dapat terdorong untuk berbuat rusuh, bahkan memberontak.

Semua kebijakan mesti diputuskan secara benar serta berbasis fakta dan ilmu. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan saran dan rekomendasi para pakar. Ahli wabah adalah ilmuwan epidemiologi atau ahli kesehatan masyarakat. Ahli di bidang penyakit adalah dokter. Merekalah yang mengetahui bagaimana tata laksana penanganan sampar ini seharusnya dilakukan.

gigi2
Ahli epidemiologi mempunyai kompetensi untuk menentukan apakah suatu daerah tergolong rawan atau penduduknya berpotensi menularkan penyakit ke daerah lainnya. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan mengatakan penentuan tempat kekarantinaan didasarkan pada hasil penyelidikan epidemiologi dan pemeriksaan laboratorium. Penetapan karantina wilayah hendaknya diambil bukan karena ego penguasa, desakan politikus, atau kehendak pengusaha dalam mencari keuntungan ekonomi.

Sumber: Tempo