Boy Marjinal, Sarjana Hukum Yang Tak Senang Dengan Penegak Hukum

Boy Marjinal, Sarjana Hukum Yang Tak Senang Dengan Penegak Hukum

25 Januari 2020
Boy Marjinal (tengah) saat memainkan alat musik Akordion bersama band Marjinal di gedung KPK (Foto: Istimewa/internet)

Boy Marjinal (tengah) saat memainkan alat musik Akordion bersama band Marjinal di gedung KPK (Foto: Istimewa/internet)

RIAU1.COM - Salah satu personil band Marjinal, Petrus Djeke atau Boy Marjinal menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang begitu kesal dengan para penegak hukum di Tanah Air.

Kisahnya bermula saat boy terpaksa kuliah mengambil jurusan hukum di Universitas Janabadra, Yogyakarta dari 2001-2007, dinukil dari hukumonline.com, Sabtu, 25 Januari 2020.

" Jadi kuliah itu bukan pilihan gue juga. Itu karena pilihan orangtua saja," sebutnya.

Ketika di bangku kuliah, disanalah Boy mulai memendam rasa kesal terhadap perilaku aparat penegak hukum. Dia beranggapan saat itu para penegak hukum memiliki mental yang bobrok.

Terutama saat bergabung sebagai aktivis mahasiswa di Front Mahasiswa Nasional (FMN). Perasaan itu makin menjadi-jadi.

" Ketika gue kuliah dan berogranisasi gue anggap mereka (penegak hukum) omong kosong semua," imbuhnya.

Tidak lama setelah lulus kuliah, Boy bertemu dan kemudian bergabung dengan Komunitas Taring Babi yang memiliki band bernama Marjinal. Disana dia mengaku telah menemukan kembali semangatnya yang sempat pudar.

Loading...

Band Marjinal dianggapnya lebih fokus ke masyarakat menengah ke bawah terutama masyarakat marjinal. Diapun memutuskan untuk bergabung dan memilih memainkan instrumen Akordion.

Sementara band Marjinal sendiri merupakan dedengkotnya band punk yang ada di Indonesia. Sejak berdiri tahun 1997, Marjinal sudah beberapa kali berganti nama.

Pernah bernama AA (Anti ABRI) dan AM (Anti Millitary). Dimana memiliki formasi awal seperti Romi Jahat (vokalis), Mike (gitar), Bob (bass) dan Steven (drum).