Isu Kiamat Datang Sebentar Lagi, Warga Ponorogo Hijrah Massal dan Bersiap Perang

Isu Kiamat Datang Sebentar Lagi, Warga Ponorogo Hijrah Massal dan Bersiap Perang

14 Maret 2019
Ini Kantor Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo.

Ini Kantor Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo.

RIAU1.COM - Masyarakat Ponorogo jadi heboh mendengar adanya  warga desa hijrah massal ke daerah lain dengan menjual harta benda. 

Mereka hijrah karena sebentar lagi kiamat akan datang. Mereka pun bersiap untuk berperang mempertahankan diri dan belajar ilmu bela diri. 

Hijrah massal itu dilakukan Puluhan warga Desa Watubongang, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo. Mereka melakukan pindah tempat tinggal massal karena alasan keyakinan dan doktrin tertentu. 

 

Seperti dikutip Riau1.com dari bisnis.com, Kamis, 14 Maret 2019, Mereka menjual rumah, harta benda, ternak, serta memboyong keluarga ke Malang. Pesantren merupakan tujuan mereka.

Isu yang berkembang di masyarakat, puluhan warga Desa Watubonang yang hijrah ke Malang karena adanya doktrin mengenai kiamat yang akan datang sebentar lagi.

Pantauan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) di Desa Watubonang, Rabu (13/3/2019) sore, sejumlah anggota TNI dan polisi terlihat berjaga di desa tersebut.

Kepala Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Bowo Susetyo, menceritakan kronologi awal puluhan warganya yang hijrah ke Malang. Mereka hijrah karena mengikuti gurunya yang lebih dahulu pergi ke Malang.

Bowo menuturkan di Desa Watubonang ada sesosok kiai yang dihormati pengikutnya bernama Khotimun. Sebelumnya, Khotimun ini nyantri di Pondok Pesantren Miftahul Falahil Mubtadiin yang ada di Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Malang.

Setelah puluhan tahun menimba ilmu di pondok itu, Khotimun kemudian pulang ke desa sekitar tahun 2007/2008. Saat di desa itu, ia kemudian mengajar masyarakat dengan ilmu yang telah didapatnya di pondok.

Dia mengaku kurang mengetahui bagaimana proses penyebaran ajarannya. Namun, yang jelas masyarakat yang ikut pengajian tersebut pun melakukan ibadah sama seperti umat Islam lainnya.

"Untuk kegiatan pengajian dilakukan seminggu dua kali. Untuk 52 warga yang hijrah ke Malang itu, kita kurang tahu perjalanannya seperti apa," kata dia di Desa Watubonang, Rabu (13/3/2019).

Sebelum warga ini memutuskan hijrah ke Malang, kata Bowo, terlebih dahulu pimpinan thoriqoh Musa Ponorogo, Khotimun, berpindah ke Malang dua bulan lalu. Sejak kepindahan Khotimun itu, kegiatan pengajian di pondokan yang ada di rumah Khotimun sepi dan tidak ada kegiatan keagamaan.

Kepindahan Khotimun ini juga diikuti beberapa jemaah. Secara bertahap mereka pergi ke Malang dengan alasan memperdalam ilmu agama di pondok pesantren Malang.

"Mereka hanya hijrah bukan pindah kependudukan. Karena mereka masih penduduk kami," katanya.

Dari 16 keluarga yang ikut hijrah itu, empat keluarga di antaranya menjual rumah mereka. Sedangkan keluarga lainnya menjual sepeda motor, ternak, hingga perabotan rumah tangga.

Sedangkan uang hasil jual rumah dan aset lainnya itu digunakan sebagai bekal selama bermukim di Malang. Selain menjual rumah, mereka juga ada yang mengajak satu keluarganya ke Malang untuk mengikuti kegiatan di sana.

Dia juga menaruh curiga karena ada kejanggalan dalam kegiatan hijrah warganya ke Malang itu. Menurutnya, saat mengikuti kegiatan di pondok pesantren tidak perlu sampai menjual rumah dan membawa satu keluarga.

"Saat saya tanya alasannya kenapa harus pergi dengan membawa keluarga. Mereka pun seperti kebingungan untuk menjawab. Seperti ada yg disembunyikan," jelas dia.

Loading...

Hasil penelusuran JIBI puluhan warga yang hijrah ke Malang itu merupakan pengikut Thoriqoh Akmaliyah Ash-Sholihiyah cabang Ponorogo. Thoriqoh ini berpusat di Malang.

Sedangkan pimpinan cabang di Ponorogo bernama Khotimun yang tinggal di Desa Watubonang. Pusat kegiatan thoriqoh ini ada di rumah Khotimun yang ada di Dusun Krajan, Desa Watubonang.

Rumah pusat thoriqoh di dusun tersebut terlihat lengang dan tidak ada aktivitas apa pun. Tidak terlihat pula pemilik rumah. Bahkan rumah yang biasanya sesak digunakan warga untuk beribadah itu ditutup dengan jaring bagian terasnya.

Seorang warga yang rumahnya berada persis di samping pondokan tersebut, Ruminah, 35, mengatakan Khotimun sudah pergi dari rumah tersebut beberapa bulan lalu. Setelah pimpinan thoriqoh itu pergi, tidak ada kegiatan pengajian atau kegiatan lain di pondokan tetersebut.

 

Sementara itu, Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni menyampaikan 52 warganya yang pindah ke Malang Jawa Timur, karena suatu doktrin aliran keagamaan. Warga tersebut meninggalkan rumah mereka di Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Ponorogo, karena ingin menyelamatkan diri dari kiamat.

Dia menuturkan puluhan warga Ponorogo itu pergi ke Pondok Pesantren Miftahul Falahil Mubtadiin dengan pengasuh pondok Muhammad Romli. Ponpes itu berada di Dusun Pulosari, Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Malang.

"Mereka pergi ke Ponpes Miftahul Falahil Mubtadiin. Mereka ini penganut thoriqoh Musa AS. Saya juga baru mendengar ada nama thoriqoh ini. Di NU ada 40 nama thoriqoh, tapi thoriqoh Musa ini ga ada," kata dia kepada wartawan di ruang kerjanya, Rabu (13/3/2019) malam.

Ipong menyampaikan berdasarkan informasi yang diterima, warga ini pergi ke Malang karena mendapatkan ajaran bahwa sebentar lagi dunia akan kiamat. Kalau para warga mau selamat dari kiamat, mereka harus ikut bersama-sama dan tinggal bersama mereka di pondok dan ikut aliran tersebut.

Menurut dia, ajaran yang diberikan cukup unik dan banyak yang tidak masuk akal. Ipong mencontohkan bagi mereka yang ikut thoriqoh ini akan selamat seperti kisah kapalnya nabi Nuh. Saat kiamat terjadi, seluruh dunia akan hancur kecuali pengikut thoriqoh itu.

"Makanya mereka disuruh untuk menjual harta bendanya," ujar dia.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan tahun ini, akan ada perang besar. Untuk itu para pengikut thoriqoh ini supaya membeli pedang seharga Rp1 juta yang disediakan pihak pondok.

"Mereka juga diminta untuk mengibarkan bendera Tauhid di depan rumah mereka," ujar dia.

Lebih lanjut, kata Ipong, ada juga perintah yang menyebutkan bahwa anak yang ikut thoriqoh ini dan orang tuanya tidak ikut. Maka sang anak berhak menyebut orang tuanya sebagai kafir.

Melihat kondisi tersebut, Ipong menyampaikan sangat prihatin dan berharap masyarakat yang sudah ikut untuk sadar.

"Kami sudah berusaha menasehati mereka, tapi mereka ga mau," kata dia.

R1/Hee