Polisi Hanya Bisa Gunakan Undang-Undang ITE untuk Jerat Penjual dan Pembeli Data Pribadi

Polisi Hanya Bisa Gunakan Undang-Undang ITE untuk Jerat Penjual dan Pembeli Data Pribadi

15 Agustus 2019
Ilustrasi jual beli data pribadi. Foto: Kumparan.com.

Ilustrasi jual beli data pribadi. Foto: Kumparan.com.

RIAU1.COM -Pembeli data pribadi dapat dijerat dengan pidana, tergantung dengan penyalahgunaannya. Jadi, aturan itu tak hanya berlaku bagi penjual data pribadi.

"Dia menggunakan itu bukan haknya, itu juga bisa kami jerat juga menggunakannya untuk apa," tutur Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Asep Safrudin dikutip dari Antara, Kamis (15/8/2019).

Dittipid Siber masih menelusuri konsumen dan penggunaan data pribadi oleh konsumen dari penjual data yang sudah ditangkap berinisial C (32) di Depok pekan lalu. Namun, Asep mengakui penelusuran transaksi dalam bidang siber tidak semudah transaksi fisik.

Karena, jejak dan buktinya cepat hilang. Perbuatan ini juga dapat dilakukan dimana saja.

"Makanya kami belum bisa mengatakan hukumannya seperti apa, tergantung dia menggunakannya untuk apa," ucap Asep.

Apabila undang-undang perlindungan data pribadi sudah diterapkan, maka kerja polisi dalam melakukan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan data pribadi akan lebih mudah.

Loading...

Sementara untuk tersangka C yang memiliki jutaan data meliputi nama lengkap, nomor telepon genggam, alamat, nomor induk kependudukan, nomor KK, rekening bank, nomor kartu kredit dan data pribadi lainnya. Polisi hanya dapat menjeratnya dengan UU ITE.

Pasal yang digunakan adalah Pasal 48 ayat (2) jo Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp3 miliar.

Selain itu juga Pasal 95A UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan ancaman maksimal dua tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp25 juta.