Dihukum 2 Tahun Penjara, Ratna Pertanyakan Pertimbangan Hakim Soal Benih-Benih Keonaran

Dihukum 2 Tahun Penjara, Ratna Pertanyakan Pertimbangan Hakim Soal Benih-Benih Keonaran

11 Juli 2019
Ratna Sarumpaet saat menghadapi sidang vonis di PN Jaksel, Kamis (11/7/2019). Foto: Detik.com.

Ratna Sarumpaet saat menghadapi sidang vonis di PN Jaksel, Kamis (11/7/2019). Foto: Detik.com.

RIAU1.COM -Terdakwa kasus hoax penganiayaan, Ratna Sarumpaet, dan putrinya, Atiqah Hasiholan, heran terhadap pertimbangan hakim soal benih-benih keonaran. Apa sebenarnya pertimbangan hakim?

Dilansir dari Detik.com, Kamis (11/7/2019), Ratna Sarumpaet dihukum 2 tahun penjara karena terbukti menyebarkan hoax penganiayaan. Ratna terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Majelis hakim menimbang delik materiil pada Pasal 14 ayat 1 UU 1946, yakni menerbitkan keonaran. Majelis menimbang bahwa menerbitkan berarti menimbulkan perselisihan, membangkitkan amarah, kerugian, dan sebagainya.

"Menurut majelis bahwa keonaran itu belum benar-benar terjadi. Tapi bibit-bibit untuk terjadinya keonaran itu telah tampak dan muncul ke permukaan," ujar hakim anggota Krisnugroho membacakan analisis yuridis putusan Ratna Sarumpaet di PN Jaksel.

Bibit atau benih keonaran dalam pertimbangan hakim didasari fakta-fakta persidangan, seperti kabar yang menjadi viral di dunia maya.

"Menjadi pro-kontra di medsos dan menjadi berita utama di media mainstream," kata hakim. 

Selain itu, muncul demonstrasi di Polda Metro Jaya, termasuk pertemuan di sebuah restoran oleh sekelompok orang untuk menyikapi kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet.

"Menimbang bahwa jika kondisi tersebut tidak cepat teratasi oleh kepolisian, maka kerusuhan, keributan, dan keonaran bisa terjadi dan hal tersebut tentunya akan sangat merugikan kita semua, dan fungsi hukum untuk menjaga ketertiban di masyarakat menjadi tidak mempunyai arti," papar hakim. 

Ketegangan ini, disebut hakim, baru mereda setelah Ratna Sarumpaet menggelar jumpa pers mengakui kebohongannya dan meminta maaf pada 3 Oktober. Ratna mengakui perbuatannya setelah polisi menunjukkan bukti lebam dan bengkak di wajahnya setelah operasi plastik di RS Bina Estetika Menteng, Jakpus.

"Menimbang bahwa terdakwa seharusnya menyadari kalau berita bohong dan kondisi muka lebam di mukanya akibat pemukulan yang disebarkan itu akan menyebabkan reaksi dari orang yang menerima dan membaca dan mengetahui keadaan tersebut," ujar hakim. 

Ratna Sarumpaet, menurut majelis hakim, seharusnya menyadari, dalam dunia teknologi yang canggih, hoax penganiayaan bisa dengan mudah menyebar. 

"Dan didukung situasi politik yang sedang memanas karena sedang waktunya pilpres dengan keadaan masyarakat yang terpolarisasi akan sangat mudah dan akhirnya akan muncul keributan, kerusuhan, atau keonaran di masyarakat," imbuh hakim. 

Menimbang bahwa majelis untuk dapat diterapkan pasal ini, keonaran tidak harus benar-benar terjadi seperti yang dibayangkan penasihat hukum. Akan tetapi sudah cukup apabila benih-benih keonaran telah tampak terjadi dan muncul di masyarakat.

"Oleh karena itu, majelis tidak sependapat dengan penasihat terdakwa yang berpendapat bahwa keonaran harus benar-benar terjadi dan hanya dapat dibuktikan dengan mengerahkan kekuatan aparat keamanan atau polisi," papar hakim.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim berpendapat unsur dengan sengaja yang menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat telah terpenuhi. 

Seusai sidang, Ratna Sarumpaet menanggapi pertimbangan majelis hakim. Menurutnya, unsur keonaran seharusnya tidak terbukti sebagaimana dalam dakwaan jaksa. Tapi Ratna mempertanyakan pertimbangan hakim yang menyebut ada benih-benih keonaran.

"Benih-benih itu kan bahasa yang dikamuflase sedemikian rupa. Kan hukum itu ada kepastiannya, nggak bisa benih-benih kok tiba-tiba memunculkan itu. Nanti harus dibongkar lagi kamus bahasa Indonesia maksudnya," kata Ratna.

Keheranan yang sama diungkapkan putri Ratna, Atiqah Hasiholan. Atiqah mengaku bersyukur vonis jauh lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yakni 6 tahun penjara.

"Tapi yang saya yakini adalah... apa makna keonaran itu, di mana sebenarnya tidak terpenuhi di sini. Tapi tiba-tiba muncul baru lagi, terjadinya benih-benih keonaran. Saya jadi, lo apa lagi ini benih-benih keonaran?" tutur Atiqah. 

Walaupun di satu sisi ia bersyukur. Dari enam tahun tuntutan, ibunya divonis 2 tahun.

"Tapi ya itu dia ya, kata 'keonaran', 'benih-benih keonaran'," kata Atiqah heran.